UA-64251474-1

Kamis, 31 Maret 2016

Sepotong kata untuk Andrea Hirata*

*dan banyak curhat
Hai pembaca, sudah baca buku-buku karya Andrea Hirata? Aku tidak akan bilang “kalau kamu suka membaca kamu pasti sudah membaca buku-buku penulis ini”,  soalnya saya sendiri baru beberapa hari yang lalu membaca novel-novelnya. Hahaha *berarti saya bukan orang yang suka baca?* Bukan begitu, saya justeru selalu menemukan kesenangan sendiri ketika membaca. Tapi entah bagaimana saya baru ini membaca novel-novelnya. Dan entah bagaimana pula, sebelum ini saya tidak suka Andrea Hirata. *JEGLEEEERRRR*


Saya tau kenapa saya tidak suka dengan penulis ini bahkan sebelum membaca karyanya. Bukan apa-apa, rupanya hanya karena kesombongan saya dan perasaan iri. Tapi, dulu sewaktu buku pertamanya terbit, saya
memang kekurangan akses bacaan. Dan hanya memiliki sedikit bacaan bahkan hobi membaca itu pun diucapkan hanya karena bingung kalau ditanya hobinya apa.

Nah, ketika awal-awal Andrea mulai tenar di layar televisi, barulah saya mulai iri padanya. Saya lupa tahun berapa, tapi itu ketika Laskar Pelangi difilmkan. Saya nonton filmnya, hanya saja masih tidak tertarik dengan bukunya. Waktu itu saya hanya tertarik pada genre since fiction, fantasy, dan adventure yang sebenarnya kalau saya mau membaca buku Andrea, saya akan segera jatuh cinta dengan tulisan Andrea. Bagaimana ia membawakan science yang sungguh mengagumkan dengan petualangan-petualangan indahnya serta fantasy yang disajikan oleh deskripsi Andrea. Sungguh luar biasa. Tak ayal kalau akhirnya Ia dikagumi karena deskripsinya yang kuat.

Deskripsi yang kuat itulah yang membuat saya akhirnya menyesali karena baru membaca bukunya. Kalau mau dihitung, dalam satu buku Laskar pelangi, berapa banyak dialog yang bisa kalian temukan? Tidak banyak. Hampir keseluruhan diisi penuh dengan deskripsi panjang yang dijelaskan oleh Ikal. Bayangkan, betapa membosankannya untuk membaca nama-nama ilmiah yang ketika SMA tidak sanggup aku ingat. Tapi betapa menakjubkannya Andrea yang membuat penggambaran dalam novel itu lebih mudah dimengerti dengan metafora-metofora cerdasnya yang sulit untuk tidak dikagumi.

Sungguh, dari keseluruhan novel Laskar Pelangi, saya menganggumi seluruh deskripsi yang ditulis Andrea. Bukan hanya mendiskripsikan cerita Ikal yang spektakuler tentang masa kecilnya tapi juga sarat pengetahuan. Kalau saya baca ketika masih sekolah dulu, mungkin saya akan menuliskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang tidak akan habis bahkan setelah ditulis dalam selembar folio sebagai tugas bahasa indonesia. Jadi tak heran ketika Laskar Pelangi diterjemahkan dalam Bahasa Jepang yang pada waktu itu saya amat bertanya-tanya, Negeri Sakura itu menerjemahkan novel Laskar Pelangi, memangnya apa yang ada di dalamnya? Jawabanya jelas, It’s an Eden.

Inilah yang disebut karya sastra, bahkan Eyang Sapardi Djoko Damono pun mengakui keindahan metafora Andrea. Apalagi unsur sainsnya yang sangat menakjubkan. Bagaimana Andrea menjadikan Fisika dan Matematika menjadi unsur yang menakjubkan dan membangkitkan semangat sementara di novel-novel lain, kedua hal itu hanya menjadi bahan keluhan dan momok yang dijabarkan penulis. Tapi bagi saya, tidak ada yang lebih bisa mendorong ketertarikan saya terhadap fisika selain Artemis Fowl. *Eh, ngelantur*

Semangat persahabatan yang kental juga sebuah kekuatan tersendiri novel ini. Lucu, menegangkan, mengagumkan, apa lagi yang bisa saya jabarkan. Saya bahkan percaya begitu saja ketika Andrea memberi tahu pembaca bahwa Syahdan dengan darah mengalir di kepalanya dan tidak bernapas, itu sudah mati. Dan ikut merasa kesal ketika ia ternyata hanya bercanda. Dan ikut mengagumi Lintang seperti Ikal mengagumi teman sebangkunya itu.

Tapi anehnya, kenapa dalam novel-novel dengan plot semacam Laskar Pelangi ini selalu memiliki tokoh yang kecerdasannya begitu cemerlang. Saya hanya bertanya-tanya bagaimana anak-anak kampung yang udik itu memeroleh begitu banyak pengetahuan. Bahan bacaan yang begitu membuka wawasan itu didapat dari mana? Ya, saya sepenuhnya menyadari itu semua hanya cerita tapi rasanya para penulis tidak pernah menulis hanya sebatas dengan imajinasi mereka saja. Menurut saya, selalu ada kisah-kisah nyata yang memancing imaji penulis dan melahirkan kisah yang begitu mengesankan.

Mulai dari sinilah saya akan bercerita tentang kampungku. Saya  pun bisa dikatakan hanya berasal dari desa kecil yang sangat jauh dari kemewahan bahkan berada di garis kemiskinan. Ibuku masih makan dengan nasi aking dan bahkan untuk bisa solat, Beliau harus mengumpulkan uang dari menjual Bakul (anyaman bambu) untuk membeli kain mori (kain kafan) yang kemudian dijahitnya menjadi mukenah. Dan solat di atas ranjang yang hanya dilapisi bilik bambu tanpa kasur yang kalau ditiduri pasti membuat sakit punggung, belum lagi dengan suara kringkat-kringketnya yang menganggu tidur. Hanya setelah saya dilahirkan kehidupan mulai sedikit berdamai, bisa makan nasi dengan lauk tempe yang dibakar kemudian diulek bersama cabai kering dan garam.

Miris kan? Tapi makanan itu jadi makanan favorit saya yang tidak pernah terkatakan, sebab ketika ditanya makanan favoritnya apa, selalu dijawab Bakso. Padahal baru sekali dua kali mencicipi bakso. Itu pun bakso aci yang dibeli kalau bakul yang dijual ke pasar setiap Selasa atau Jumat, banyak atau setidaknya 2 kodi. Saya memang tidak mengalami nasib sepahit Ibu saya, tapi sempat sedikit mencicipi nasib yang sulit ditolak kedatangannya.

Nah, sampailah pada kenyataan bahwa anak-anak kecil di sini tidak bisa menikmati pendidikan usia dini. Jangankan PAUD, TK saja, hanya ada di kota kecamatan, jaraknya kurang lebih 3 km, yang hanya bisa ditempuh pakai sepeda karena tidak punya cukup uang untuk naik ojek. Memang, jarak ini tidak seberapa kalau dibandingkan dengan Lintang yang mengayuh sepedanya 80 km setiap hari. Tapi syukurlah di Kampungku ada setidaknya 4 Sekolah Dasar, 1 SMP swasta  dan 1 SMA yang saat ini menjadi SMA favorit bahkan memiliki siswa dari luar kota dan luar provinsi. Sebenarnya lebih beruntung dibandingkan Ikal dan kawan-kawan laskar pelanginya. Hanya saja, kami tidak seberuntung Ikal dan kawan-kawannya dalam hal akses ilmu pengetahuan.

Lintang bisa belajar begitu banyak ilmu pengetahuan ketika diberi kesempatan membersihkan ruangan Pak Harfan. Dan Mahar yang entah bagaimana mengetahui begitu banyak tentang karya seni, bukan hanya seni andalan anak SD  yaitu dua gunung kembar dengan matahari di tengahnya. Memang sulit dipahami ketika mereka tinggal di desa, kampung yang begitu ketinggalan, daerah marginal, bahkan pulau terpencil, bisa mengetahui begitu banyak wawasan. Yah, terlepas semua itu hanya fiksi. Tapi mereka selalu memiliki akses dimana ilmu pengetahuan itu bisa didapatkan.

Kalau ditanya bacaan pertama saya apa, yaitu surat dari Ayah saya yang sedang mengadu nasib membuka kebun di daerah yang jauh dari tempat saya tinggal. Daerah yang lebih kampungan lagi, yang untuk sampai ke sana harus menyebrangi sungai dengan rakit dan berjalan menanjak selama 2 jam. Kemudian hobi saya adalah menulis surat.

Awal-awal tahun di SD, sekolahku tidak punya perpustakaan. Dan rumah guru-guru kami dipenuhi rak-rak dengan pajangan gerabah. Kami tidak pernah ditunjukkan bacaan yang lebih menarik dibandingkan cerita rakyat yang ada di buku bahasa indonesia, itu pun hanya sebatas cerita si pahit lidah, malin kundang, yang kemudian diulang-ulang hingga SMP. Dan ketika saya kelas 4 SD, maka akhirnya sekolah kami memiliki perpustakaan. Saya tidak pernah mengamati bagaimana teman-teman saya menanggapinya, tapi saya sangat gembira. Setiap jam istirahat, saya ke perpustakaan ang hanya punya satu rak buku kecil. Isinya pun tetap saja, cerita-cerita rakyat yang ada di buku bahasa, tapi yang ini lebih menarik karena disertai gambar. Selebihnya, buku-buku pelajaran sumbangan entah dari mana.

Ketika saya SMA dan aktif menulis fanfiksi, kemudian mengenal teman-teman yang memiliki banyak keberuntungan dalam hobi baca-tulisnya, kadang saya mengutuk desa saya yang tidak punya banyak amunisi bacaan. Bahkan saya tidak pernah melihat majalah Bobo sampai SMP. Nah, ketika SMP inilah saya merasa menemukan tempat yang sangat membuat saya nyaman: perpustakaan sekolah. Rasanya menakjubkan sekali ketika saya bersekolah di sekolah dengan perpustakaan yang punya rak buku lebih banyak dari SDku dulu bahkan memiliki lemari buku yang buku-buku di dalamnya tidak boleh dipinjam. Jadilah awal-awal saya masuk perpustakaan itu, saya hanya mondar mandir mengagumi barisan buku-buku yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Tapi dengan amunisi sedemikian banyak pun saya tidak lantas rajin meminjam buku, toh, ternyata Ibu saya tidak suka kalau saya keseringan membaca. Menurutnya itu membuang-buang waktu, mending kalau mau baca buku, buku pelajaran saja, belajar, begitulah kira-kira alasannya. Jadi selama 3 tahun SMP itu saya tidak banyak baca buku di rumah, hanya sesekali meminjam buku untuk dibaca diam-diam di kamar sebelum dipergoki karena lupa cuci piring. Tapi tetap saja, bagi saya itu menakjubkan sekali untuk melihat barisan-barisan buku di perpustakaan. Kadang saya bertanya dalam hati, apa saya bisa membaca semua buku itu? Dan ternyata tidak. Haha. Hanya buku-buku Harry Potter hingga buku ke-5 *kalau tidak salah* dan beberapa buku empat sekawan *eh, lima sekawan atau empat sekawan ya?*, beberapa buku detektif, dan cerita rakyat yang belum pernah dibaca ketika SD. Tapi saya tidak pernah benar-benar mengerti bacaan saya. Hahaha. Pun begitu, saya dianggap “anak aneh” di sekolah. Entahlah, mungkin seperti Mahar yang selalu dianggap terlalu banyak berhayal. Atau mereka heran karena saya terlalu terkagum-kagum dengan perpustakaan besar sekolahku dulu.

Dan akhirnya SMA. Ternyata perpustakaannya lebih kecil. Dan entah kenapa saya tidak begitu suka membaca di perpustakaan. Ditambahlah saya tidak banyak baca buku-buku dengan genre yang saya senangi. Saya seperti yang diharapkan Ibuku: membaca buku pelajaran. Buku Biologi mungkin jadi buku yang paling saya sukai, tapi jadi tidak suka ketika banyak sekali nama-nama ilmiahnya. Tapi ketika itu saya aktif menulis fanfiksi dan fiksi. Bacaan saya hanya bacaan-bacaan ringan semacam cerpen atau cerbung yang remaja banget. Yah, masa-masa itu saya lebay amit-amit, apalagi di media secial: facebook. Walaupun awalnya alay-alay bikin jijik, ternyata dari sana saya banyak belajar menulis dan berkenalan dengan teman-teman yang suka menulis. Meskipun begitu, saya tetap mencintai pepustakaan, setidaknya saya pernah bolos pelajaran matematika cuma untuk baca novel percintaan cina di perpustakaan *Haduh, serasa prestasi banget yah*.

Barulah ketika kuliah, saya mulai menjajaki bacaan-bacaan baru. Saya berhenti menulis fiksi dan fanfiksi dan saya mulai menulis berita, menjadi jurnalis kampus. Saya bangga sekali waktu itu, sampai ketika media mahasiswa ini memberitakan sesuatu yang tidak enak padahal itu memang fakta dari fakultas saya. Saya menarik diri dari organisasi bukan karena kesal dengan pemberitaannya tapi karena perlakuan teman-teman saya yang membuat saya jadi tidak enak. Dari sana yang mulai menarik diri baik dari organisasi media kampus, atau dari teman-temanku di perkuliahan. Secara singkat, saya menjadi agak antisosial. Ah, sudah lah, yang ini hanya akan berujung ke curhat-curhat menjemukan.

Kembali lagi ke persoalan perpustakaan dan buku bacaan. Dan lagi-lagi, ketika saya mengenang masa lalu, tentang apa saja yang saya sudah baca, saya tak henti-hentinya mengutuk nasib desa kami yang menurutku sangat kurang menyadari pentingnya membaca. Syukurlah, ibuku sekarang tidak pernah protes kalau saya baca buku cerita di rumah dan tidak protes kalau saya menyodori buku-buku bacaan ringan ke adik-adik sepupuku.

Terkadang saya ingin menjadikan kisah dalam novel-novel itu menjadi nyata, dimana kami masyarakat kampung pun bisa punya akses bacaan yang lebih berkualitas. Atau setidaknya memiliki banyak buku bacaan. Mungkin menyenangkan kalau menjadi guru, dan melihat anak-anak didiknya berebut buku bacaan. Tapi saya tidak bercita-cita untuk menjadi guru. Saya ingin menjadi penulis dan mendirikan peprustakaan. Malahan dulu saya ingin jadi pustakawan.

Soal tidak suka dengan Andrea Hirata, sebenarnya itu soal lain. Saya mengagumi karyanya, sementara ini Laskar Pelangi. Ketika selesai membaca, yang saya pikirkan adalah risetnya. Saya benar-benar penasaran apa saja yang dilakukan Andrea untuk menghasilkan karya yang se-epik itu. Pasti bacaannya keren-keren. Tapi inilah yang membuat saya iri dan jatuh pada sikap tidak menyukai penulis keren satu ini. Dia lulusan sastra dan dalam debutnya, novelnya langsung jadi best seller. Aneh ya, seharusnya ini sangat memotivasiku. Semacam, “Saya juga pasti bisa seperti dia walaupun saya calon lulusan teknik.” Padahal dulu ketika menerima kenyataan saya akan jadi mahasiswa Teknik Geofisika, saya ingin jadi seperti Julius Verne. Hahaha.

Woaaaah, panjang sekali. Rasanya sudah lama saya tidak menulis sepanjang ini. Walaupun isinya tetap saja curhatan-curhatan yang mudah-mudahan entah kapan bisa jadi salah satu koleksi bacaan (aamiin).

Sekarang ketika saya sudah jatuh cinta pada karya Andrea Hirata, saya akan selalu menantikan karya-karyanya. Dan saya akan menjadi seperti Julius Verne. Hahaha. Ingat dulu, di tahun terakhir SMP, saya pernah bilang ke teman-teman, “Aku akan jadi peraih Nobel sastar di tahun 2014” yang yah, sudah lewat sih, tapi rasanya saya tidak ingin menyerah dengan cita-cita saya itu. Saya akan membuat Syahdan menjadi nyata, walaupun sudah sukses di bidang teknologi dia tetap tidak menyerah untuk menjadi seorang aktor. Walaupun saya sudah kecemplung di Teknik Geofisika, saya tidak bisa menyerah pada cita-cita saya untuk menjadi penulis.

Saya tidak pernah tau saya akan menjadi apa dan saya seringkali berdoa seperti Ikal yang berdoa untuk dijadikan apa saja kecuali pekerja pos, beberapa tahun ini saya berdoa “Ya Allah, jadikan aku apa saja asalkan jangan jadi wartawan.” Tapi kita lihat saja kemana nasib akan membawa kakiku pergi.

Tapi, sebelum itu..., mari kita selesaikan skripsi dulu, ya...!  ^.<

Salam Literasi! Semangat bikin Skripsi! ^^
~R~




2 komentar:

  1. Kenapa pula lah senpai ini tak ingin jadi wartawan? Hahahaha padahal berkecimpung di pers mahasiswa. Tulisannya enak dibaca tp senpai gak konsisten dg kata ganti. Kadang aku kadang saya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, iya juga. Haha. Mungkin lupa di-replace, Ji tadinya pake aku semua soalnya. Em, kalo itu liat nanti aja deh, Ji. Kalo jadi wartawannya di Kompas atau Tempo atau Jakarta Post sih, mau ji... Haha. Btw, thanks untuk reviewnya, Puji... Makasih sudah mampir... Sering-sering ya *kayak sering update aja. Haha*

      Hapus