*dan banyak curhat
Hai pembaca, sudah baca buku-buku karya Andrea Hirata? Aku
tidak akan bilang “kalau kamu suka membaca kamu pasti sudah membaca buku-buku
penulis ini”, soalnya saya sendiri baru
beberapa hari yang lalu membaca novel-novelnya. Hahaha *berarti saya bukan
orang yang suka baca?* Bukan begitu, saya justeru selalu menemukan kesenangan
sendiri ketika membaca. Tapi entah bagaimana saya baru ini membaca novel-novelnya.
Dan entah bagaimana pula, sebelum ini saya tidak suka Andrea Hirata.
*JEGLEEEERRRR*
Saya tau kenapa saya tidak suka dengan penulis ini bahkan
sebelum membaca karyanya. Bukan apa-apa, rupanya hanya karena kesombongan saya
dan perasaan iri. Tapi, dulu sewaktu buku pertamanya terbit, saya
memang kekurangan akses bacaan. Dan hanya memiliki sedikit bacaan bahkan hobi membaca itu pun diucapkan hanya karena bingung kalau ditanya hobinya apa.
memang kekurangan akses bacaan. Dan hanya memiliki sedikit bacaan bahkan hobi membaca itu pun diucapkan hanya karena bingung kalau ditanya hobinya apa.
Nah, ketika awal-awal Andrea mulai tenar di layar televisi,
barulah saya mulai iri padanya. Saya lupa tahun berapa, tapi itu ketika Laskar
Pelangi difilmkan. Saya nonton filmnya, hanya saja masih tidak tertarik dengan
bukunya. Waktu itu saya hanya tertarik pada genre since fiction, fantasy,
dan adventure yang sebenarnya kalau
saya mau membaca buku Andrea, saya akan segera jatuh cinta dengan tulisan
Andrea. Bagaimana ia membawakan science
yang sungguh mengagumkan dengan petualangan-petualangan indahnya serta fantasy
yang disajikan oleh deskripsi Andrea. Sungguh luar biasa. Tak ayal kalau
akhirnya Ia dikagumi karena deskripsinya yang kuat.
Deskripsi yang kuat itulah yang membuat saya akhirnya
menyesali karena baru membaca bukunya. Kalau mau dihitung, dalam satu buku
Laskar pelangi, berapa banyak dialog yang bisa kalian temukan? Tidak banyak.
Hampir keseluruhan diisi penuh dengan deskripsi panjang yang dijelaskan oleh
Ikal. Bayangkan, betapa membosankannya untuk membaca nama-nama ilmiah yang
ketika SMA tidak sanggup aku ingat. Tapi betapa menakjubkannya Andrea yang
membuat penggambaran dalam novel itu lebih mudah dimengerti dengan
metafora-metofora cerdasnya yang sulit untuk tidak dikagumi.
Sungguh, dari keseluruhan novel Laskar Pelangi, saya
menganggumi seluruh deskripsi yang ditulis Andrea. Bukan hanya mendiskripsikan
cerita Ikal yang spektakuler tentang masa kecilnya tapi juga sarat pengetahuan.
Kalau saya baca ketika masih sekolah dulu, mungkin saya akan menuliskan
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang tidak akan habis bahkan setelah
ditulis dalam selembar folio sebagai tugas bahasa indonesia. Jadi tak heran
ketika Laskar Pelangi diterjemahkan dalam Bahasa Jepang yang pada waktu itu
saya amat bertanya-tanya, Negeri Sakura itu menerjemahkan novel Laskar Pelangi,
memangnya apa yang ada di dalamnya? Jawabanya jelas, It’s an Eden.
Inilah yang disebut karya sastra, bahkan Eyang Sapardi Djoko
Damono pun mengakui keindahan metafora Andrea. Apalagi unsur sainsnya yang
sangat menakjubkan. Bagaimana Andrea menjadikan Fisika dan Matematika menjadi
unsur yang menakjubkan dan membangkitkan semangat sementara di novel-novel lain,
kedua hal itu hanya menjadi bahan keluhan dan momok yang dijabarkan penulis.
Tapi bagi saya, tidak ada yang lebih bisa mendorong ketertarikan saya terhadap
fisika selain Artemis Fowl. *Eh,
ngelantur*
Semangat persahabatan yang kental juga sebuah kekuatan
tersendiri novel ini. Lucu, menegangkan, mengagumkan, apa lagi yang bisa saya
jabarkan. Saya bahkan percaya begitu saja ketika Andrea memberi tahu pembaca
bahwa Syahdan dengan darah mengalir di kepalanya dan tidak bernapas, itu sudah
mati. Dan ikut merasa kesal ketika ia ternyata hanya bercanda. Dan ikut
mengagumi Lintang seperti Ikal mengagumi teman sebangkunya itu.
Tapi anehnya, kenapa dalam novel-novel dengan plot semacam
Laskar Pelangi ini selalu memiliki tokoh yang kecerdasannya begitu cemerlang.
Saya hanya bertanya-tanya bagaimana anak-anak kampung yang udik itu memeroleh
begitu banyak pengetahuan. Bahan bacaan yang begitu membuka wawasan itu didapat
dari mana? Ya, saya sepenuhnya menyadari itu semua hanya cerita tapi rasanya
para penulis tidak pernah menulis hanya sebatas dengan imajinasi mereka saja.
Menurut saya, selalu ada kisah-kisah nyata yang memancing imaji penulis dan
melahirkan kisah yang begitu mengesankan.
Mulai dari sinilah saya akan bercerita tentang kampungku.
Saya pun bisa dikatakan hanya berasal
dari desa kecil yang sangat jauh dari kemewahan bahkan berada di garis
kemiskinan. Ibuku masih makan dengan nasi aking dan bahkan untuk bisa solat,
Beliau harus mengumpulkan uang dari menjual Bakul (anyaman bambu) untuk membeli
kain mori (kain kafan) yang kemudian dijahitnya menjadi mukenah. Dan solat di
atas ranjang yang hanya dilapisi bilik bambu tanpa kasur yang kalau ditiduri
pasti membuat sakit punggung, belum lagi dengan suara kringkat-kringketnya yang menganggu tidur. Hanya setelah saya
dilahirkan kehidupan mulai sedikit berdamai, bisa makan nasi dengan lauk tempe
yang dibakar kemudian diulek bersama cabai kering dan garam.
Miris kan? Tapi
makanan itu jadi makanan favorit saya yang tidak pernah terkatakan, sebab
ketika ditanya makanan favoritnya apa, selalu dijawab Bakso. Padahal baru
sekali dua kali mencicipi bakso. Itu pun bakso aci yang dibeli kalau bakul yang
dijual ke pasar setiap Selasa atau Jumat, banyak atau setidaknya 2 kodi. Saya
memang tidak mengalami nasib sepahit Ibu saya, tapi sempat sedikit mencicipi
nasib yang sulit ditolak kedatangannya.
Nah, sampailah pada kenyataan bahwa anak-anak kecil di sini tidak
bisa menikmati pendidikan usia dini. Jangankan PAUD, TK saja, hanya ada di kota
kecamatan, jaraknya kurang lebih 3 km, yang hanya bisa ditempuh pakai sepeda
karena tidak punya cukup uang untuk naik ojek. Memang, jarak ini tidak seberapa
kalau dibandingkan dengan Lintang yang mengayuh sepedanya 80 km setiap hari. Tapi
syukurlah di Kampungku ada setidaknya 4 Sekolah Dasar, 1 SMP swasta dan 1 SMA yang saat ini menjadi SMA favorit
bahkan memiliki siswa dari luar kota dan luar provinsi. Sebenarnya lebih
beruntung dibandingkan Ikal dan kawan-kawan laskar pelanginya. Hanya saja, kami
tidak seberuntung Ikal dan kawan-kawannya dalam hal akses ilmu pengetahuan.
Lintang bisa belajar begitu banyak ilmu pengetahuan ketika
diberi kesempatan membersihkan ruangan Pak Harfan. Dan Mahar yang entah
bagaimana mengetahui begitu banyak tentang karya seni, bukan hanya seni andalan
anak SD yaitu dua gunung kembar dengan
matahari di tengahnya. Memang sulit dipahami ketika mereka tinggal di desa,
kampung yang begitu ketinggalan, daerah marginal, bahkan pulau terpencil, bisa
mengetahui begitu banyak wawasan. Yah, terlepas semua itu hanya fiksi. Tapi
mereka selalu memiliki akses dimana ilmu pengetahuan itu bisa didapatkan.
Kalau ditanya bacaan pertama saya apa, yaitu surat dari Ayah
saya yang sedang mengadu nasib membuka kebun di daerah yang jauh dari tempat
saya tinggal. Daerah yang lebih kampungan lagi, yang untuk sampai ke sana harus
menyebrangi sungai dengan rakit dan berjalan menanjak selama 2 jam. Kemudian
hobi saya adalah menulis surat.
Awal-awal tahun di SD, sekolahku tidak punya perpustakaan. Dan
rumah guru-guru kami dipenuhi rak-rak dengan pajangan gerabah. Kami tidak
pernah ditunjukkan bacaan yang lebih menarik dibandingkan cerita rakyat yang
ada di buku bahasa indonesia, itu pun hanya sebatas cerita si pahit lidah,
malin kundang, yang kemudian diulang-ulang hingga SMP. Dan ketika saya kelas 4
SD, maka akhirnya sekolah kami memiliki perpustakaan. Saya tidak pernah
mengamati bagaimana teman-teman saya menanggapinya, tapi saya sangat gembira.
Setiap jam istirahat, saya ke perpustakaan ang hanya punya satu rak buku kecil.
Isinya pun tetap saja, cerita-cerita rakyat yang ada di buku bahasa, tapi yang
ini lebih menarik karena disertai gambar. Selebihnya, buku-buku pelajaran
sumbangan entah dari mana.
Ketika saya SMA dan aktif menulis fanfiksi, kemudian
mengenal teman-teman yang memiliki banyak keberuntungan dalam hobi
baca-tulisnya, kadang saya mengutuk desa saya yang tidak punya banyak amunisi
bacaan. Bahkan saya tidak pernah melihat majalah Bobo sampai SMP. Nah, ketika
SMP inilah saya merasa menemukan tempat yang sangat membuat saya nyaman:
perpustakaan sekolah. Rasanya menakjubkan sekali ketika saya bersekolah di
sekolah dengan perpustakaan yang punya rak buku lebih banyak dari SDku dulu
bahkan memiliki lemari buku yang buku-buku di dalamnya tidak boleh dipinjam.
Jadilah awal-awal saya masuk perpustakaan itu, saya hanya mondar mandir
mengagumi barisan buku-buku yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Tapi dengan amunisi sedemikian banyak pun saya tidak lantas
rajin meminjam buku, toh, ternyata Ibu saya tidak suka kalau saya keseringan
membaca. Menurutnya itu membuang-buang waktu, mending kalau mau baca buku, buku
pelajaran saja, belajar, begitulah kira-kira alasannya. Jadi selama 3 tahun SMP
itu saya tidak banyak baca buku di rumah, hanya sesekali meminjam buku untuk
dibaca diam-diam di kamar sebelum dipergoki karena lupa cuci piring. Tapi tetap
saja, bagi saya itu menakjubkan sekali untuk melihat barisan-barisan buku di
perpustakaan. Kadang saya bertanya dalam hati, apa saya bisa membaca semua buku
itu? Dan ternyata tidak. Haha. Hanya buku-buku Harry Potter hingga buku ke-5
*kalau tidak salah* dan beberapa buku empat sekawan *eh, lima sekawan atau
empat sekawan ya?*, beberapa buku detektif, dan cerita rakyat yang belum pernah
dibaca ketika SD. Tapi saya tidak pernah benar-benar mengerti bacaan saya.
Hahaha. Pun begitu, saya dianggap “anak aneh” di sekolah. Entahlah, mungkin
seperti Mahar yang selalu dianggap terlalu banyak berhayal. Atau mereka heran
karena saya terlalu terkagum-kagum dengan perpustakaan besar sekolahku dulu.
Dan akhirnya SMA. Ternyata perpustakaannya lebih kecil. Dan
entah kenapa saya tidak begitu suka membaca di perpustakaan. Ditambahlah saya
tidak banyak baca buku-buku dengan genre yang saya senangi. Saya seperti yang
diharapkan Ibuku: membaca buku pelajaran. Buku Biologi mungkin jadi buku yang
paling saya sukai, tapi jadi tidak suka ketika banyak sekali nama-nama
ilmiahnya. Tapi ketika itu saya aktif menulis fanfiksi dan fiksi. Bacaan saya
hanya bacaan-bacaan ringan semacam cerpen atau cerbung yang remaja banget. Yah,
masa-masa itu saya lebay amit-amit, apalagi di media secial: facebook. Walaupun
awalnya alay-alay bikin jijik, ternyata dari sana saya banyak belajar menulis
dan berkenalan dengan teman-teman yang suka menulis. Meskipun begitu, saya
tetap mencintai pepustakaan, setidaknya saya pernah bolos pelajaran matematika cuma
untuk baca novel percintaan cina di perpustakaan *Haduh, serasa prestasi banget
yah*.
Barulah ketika kuliah, saya mulai menjajaki bacaan-bacaan
baru. Saya berhenti menulis fiksi dan fanfiksi dan saya mulai menulis berita,
menjadi jurnalis kampus. Saya bangga sekali waktu itu, sampai ketika media
mahasiswa ini memberitakan sesuatu yang tidak enak padahal itu memang fakta
dari fakultas saya. Saya menarik diri dari organisasi bukan karena kesal dengan
pemberitaannya tapi karena perlakuan teman-teman saya yang membuat saya jadi
tidak enak. Dari sana yang mulai menarik diri baik dari organisasi media
kampus, atau dari teman-temanku di perkuliahan. Secara singkat, saya menjadi
agak antisosial. Ah, sudah lah, yang ini hanya akan berujung ke curhat-curhat
menjemukan.
Kembali lagi ke persoalan perpustakaan dan buku bacaan. Dan
lagi-lagi, ketika saya mengenang masa lalu, tentang apa saja yang saya sudah
baca, saya tak henti-hentinya mengutuk nasib desa kami yang menurutku sangat
kurang menyadari pentingnya membaca. Syukurlah, ibuku sekarang tidak pernah
protes kalau saya baca buku cerita di rumah dan tidak protes kalau saya
menyodori buku-buku bacaan ringan ke adik-adik sepupuku.
Terkadang saya ingin menjadikan kisah dalam novel-novel itu
menjadi nyata, dimana kami masyarakat kampung pun bisa punya akses bacaan yang
lebih berkualitas. Atau setidaknya memiliki banyak buku bacaan. Mungkin
menyenangkan kalau menjadi guru, dan melihat anak-anak didiknya berebut buku
bacaan. Tapi saya tidak bercita-cita untuk menjadi guru. Saya ingin menjadi
penulis dan mendirikan peprustakaan. Malahan dulu saya ingin jadi pustakawan.
Soal tidak suka dengan Andrea Hirata, sebenarnya itu soal
lain. Saya mengagumi karyanya, sementara ini Laskar Pelangi. Ketika selesai
membaca, yang saya pikirkan adalah risetnya. Saya benar-benar penasaran apa
saja yang dilakukan Andrea untuk menghasilkan karya yang se-epik itu. Pasti
bacaannya keren-keren. Tapi inilah yang membuat saya iri dan jatuh pada sikap
tidak menyukai penulis keren satu ini. Dia lulusan sastra dan dalam debutnya,
novelnya langsung jadi best seller.
Aneh ya, seharusnya ini sangat memotivasiku. Semacam, “Saya juga pasti bisa seperti dia walaupun saya calon lulusan teknik.”
Padahal dulu ketika menerima kenyataan saya akan jadi mahasiswa Teknik
Geofisika, saya ingin jadi seperti Julius Verne. Hahaha.
Woaaaah, panjang sekali. Rasanya sudah lama saya tidak
menulis sepanjang ini. Walaupun isinya tetap saja curhatan-curhatan yang
mudah-mudahan entah kapan bisa jadi salah satu koleksi bacaan (aamiin).
Sekarang ketika saya sudah jatuh cinta pada karya Andrea
Hirata, saya akan selalu menantikan karya-karyanya. Dan saya akan menjadi
seperti Julius Verne. Hahaha. Ingat dulu, di tahun terakhir SMP, saya pernah
bilang ke teman-teman, “Aku akan jadi
peraih Nobel sastar di tahun 2014” yang yah, sudah lewat sih, tapi rasanya
saya tidak ingin menyerah dengan cita-cita saya itu. Saya akan membuat Syahdan
menjadi nyata, walaupun sudah sukses di bidang teknologi dia tetap tidak
menyerah untuk menjadi seorang aktor. Walaupun saya sudah kecemplung di Teknik
Geofisika, saya tidak bisa menyerah pada cita-cita saya untuk menjadi penulis.
Saya tidak pernah tau saya akan menjadi apa dan saya
seringkali berdoa seperti Ikal yang berdoa untuk dijadikan apa saja kecuali
pekerja pos, beberapa tahun ini saya berdoa “Ya Allah, jadikan aku apa saja
asalkan jangan jadi wartawan.” Tapi kita lihat saja kemana nasib akan membawa
kakiku pergi.
Tapi, sebelum itu...,
mari kita selesaikan skripsi dulu, ya...! ^.<
Salam Literasi! Semangat bikin Skripsi! ^^
~R~
Kenapa pula lah senpai ini tak ingin jadi wartawan? Hahahaha padahal berkecimpung di pers mahasiswa. Tulisannya enak dibaca tp senpai gak konsisten dg kata ganti. Kadang aku kadang saya. :D
BalasHapusWah, iya juga. Haha. Mungkin lupa di-replace, Ji tadinya pake aku semua soalnya. Em, kalo itu liat nanti aja deh, Ji. Kalo jadi wartawannya di Kompas atau Tempo atau Jakarta Post sih, mau ji... Haha. Btw, thanks untuk reviewnya, Puji... Makasih sudah mampir... Sering-sering ya *kayak sering update aja. Haha*
Hapus