UA-64251474-1

Rabu, 03 November 2010

KEGAGALANKU TEMUKANMU

KRING! KRING! KRING!
 
Tanganku meraba-raba di sekekliling meja, di samping dipanku. Mataku yang masih merem melek, menggerser tombol di punggung jam analogku. Mataku melototi jarum jam yang mengarah ke angka tujuh.

“sialan… ! Gue telat lagi!” selimut putih yang menjagaku semalaman ku lemparkan di atas kasur. Pintu di pojok kamar adalah tujuanku. Buru-buru ku cuci mukaku dan menggosok gigi. Rasanya akan

makalah pencetus cinta

“ Jadi inget SMP ya… ” Fira cewek berambut ikal berseru dari balik kacamata berbingkai ungu miliknya, ketika meletakkan tasnya di kursi bersama kedua temannya.

“ iya… dan semoga hal ini akan berlangsung terus.” sahut Citra, cewek manis berjilbab duduk di samping kasur,bersprai biru tua.

“Pasti akan diteruskan…” si pemilik rumah berseru dari belakang pintu, tepat di depan tempat Fira

Jumat, 22 Oktober 2010

Pelangi di Malam Hari


Dalam hitamnya duniaku,
Sesekali ku ingin kau temaniku.
Dalam hitamnya duniaku,
Sesekali ku ingin kau di sisiku.

Selalu merataka dingin malam,
Disekujur tubuh kau hempaskan, kesunyian tiada ujung.

Kala langit menutup mata,
Kala siang menyengat raga,
Kau hanay mengintipku dari ujung tak panadang.
Bahakan mungkin, takkan mungkin kutemui keindahanmu.

Kala langit hitam menyambar malam,
Kau biaskan cahay terang duniaku
Wush….!!!
Angin malam hapus mimpi tentangmu
Aku meratapi itu, karna hanya itu yang ku mampu.
Tak dapat genggam asa di hatimu,
Karena ku tahu,
Kau,
Hanya pelangi di malam hari untuk duniaku.

Kepastian Mimpi


Raga terhempas tak berdaya,
Mataku bagai tak bernyawa
Hari indah hanya sebuah mimpi
Mimpi demi masa yang tak berarti.

Aku terbang !
Aku melayang!
Menjangkau asa di ujung mimpi.
Mimpi demi mimpi aku jumpai, aku hinggapi, juga ku pelajari

Hitam putih mimpiku mendera anganku
Harapan langit, sudahi anganku
Aku masih ingin bermimpi
Untuk esok, juga nanti
Untuk raga ini, juga jiwa mati
Walau pedih menerjang pori-pori kulit,
Darahku tetap merah!
Tulangku tetap putih!
Hidupku tak mungkin tak berarti
Mimpiku, hanya bersembunyi di sela-sela himpitan poros otakku
Aku kan bongkar tuk jadikannya nyata
Tak dalam malamku,
Tapi dalam hidupku !

TANGGAMUS INDAH


Tampak jelas langit biru hiasi kotaku
Angin sepoi sepoi menyambut lautanku
Nilai budaya kami indahkan
Gumaman laut juga tersampaikan
Gunung-gunung terpaku dalam kedamaian
Angan terbentang, symbol keinginan.

Masih ingin capai langit Indonesia,
Untik kotaku, yang asri nan permai
Sinar matahari menyengat kulit tanggamus, membakar semangat kemajuan

Nyanyian merdu dari seminung,
Dahan indah tak berujung,
Asa menggunung,
Harapan kota, kan terwujud dalam keagungan

Kotaku…
Tanggamus, anak Indonesia.

Warna Warni Mimpi

Hatiku tertabrak angin kencang,
Oleng! Bagai perahu diterjang badai
Wus…wus…
Angin  apa ini?

Ku harap ku kan genggam angin
Ku tak ingin ia menghapus mimpiku
Ku harap ku kan tenangkan angin
Agar ia bisa membawaku ke ujung asa
Menyampaikan sejuta mimpi untuk masa

Sret…sret…sret…
Merah, kuning, jingga
Akhirnya angin melukisnya!
Rangkaian pelangi mimpi!
Terlukis dalam relung penuh atri
Dalam  gelisah hati,
ku temui hatiku melukis pelangi.

Kamis, 14 Oktober 2010

KAKEK TUA BERHATI MUDA

Orang baik. Di dunia ini sudah amat sangat langka orang yang seperti itu. Yang baik dalam arti luar dan dalam. Bersih hati, teguh iman, percaya diri dan selalu bersikap baik kepada semua orang.  Beberapa bulan yang lalu saya menyaksikan sebuah reality show, yang menampilkan sesosok manusia penuh budi pekerti. Kali ini, untuk pertama kalinya saya menulis hak seperti ini, saya akan membahas orang yang amat saya kagumi itu.
Orang ini, rasanya ingin menangis kalau melihatnya. Keterbatasn mental yang menuntun hidupnya sejak lama, membawa hati sucinya mengiringi raga. Setiap hari berpangkal di depan mall besar, memainkan alat music ‘sitter’ begitulah ia menyebutnya, indah sekali lantunan nada darinya. Tak kalah dengan artis papan atas.
Keterbatasannya itu, tidak ia gunakan untuk hal yang haram. Meskipun matanya tak mampu menatap birunya langit, hijaunya dedaunan, megahnya bangunan didepannya itu, atau apalah yang ada, tapi dia tetap berusaha mencari jalan halal dalam hidupnya.
Dia gunakan sitter, alat music semacam kecapi, dengan lihai ia memainkan nada demi nada, tanpa melihat benang mana yang ia cabik. Permainan yang sunguh hebat bukan? Allah memang maha adil semua makhluk hidup pasti memilki kemampuannya masing masing. Begitu pula dengan bapak tua ini
Dalam usianya yang mampir menemui 90 tahun ini, ia tak pernah putus asa mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Dirinya sendiri? Yah…ia bukanlah egois, tapi, itu karena ia hanyalah sebatangkara. Hidup di Jakarta, kota mewah dan megah, hanya seorang diri, hanya menumpang dengan seorang teman yang juga baik hatinya, ia langsungkan hidupmya. Tak mau merepotkan hidup temanya, ia berusaha mencari nafkah di depan mall dengan sitternya.
Dia bukanlah mengemis, tapi ia hanya mengamen. Mengamen lebih mulia dari pada mengemis kan? Bayangkan, orang setua beliau, dengan segala keterbatasannya masih mampu memenuhi keinginannya, dengan hal yang ia bisa. Tak seperti halnya manusia saat ini. Memanfaatkan hal yang tak ada, untuk yang ada. Tidak mensyukuri nikmat allah SWt.
Bapak mulia, bernama ponimin ini, sungguh gigih dan pejuang keras. Di kota sebesar Jakarta, ia mampu menopang hidup meski terkadang ia merasa menjadi benalu bagi temannya. Subhanaallah,…sudah tua tapi penuh rasa syukur dan selalu berusaha. Tak pernah berputus asa.  Orang yang sudah sangat langka di jaman seperti ini. Kakek tua yang hampir punah, perjuangannya haruslah diteladani untuk semua pemuda islam.
Orang baik memang selalu ada jalan. Allah selalu menyayangi hamba-hambanya yang menyayanginya. Tak luput dari kebaikannya dan keikhlasannya dalam menjalani kehidupan, bapak ponimin selalu mendapat pertolongan allah. Karen ia tak bisa melihat dengan kedua matanya. Ia pun tak mengetahui bagaimana kedaan rumah temanya yang bernama jumirah di area perumahan yang bisa dibilang kumuh itu. Bahkan arah pulang saja ia tak tau. Untunglah masih ada orang yang berkenan hati membantu bapak ponimin ini menjajaki jalan tepi, jalan setapak, dengan becak sederhana menyusuri lorong sempit, gang perumahan.
Siter itulah, benda setelah tukang becak dan ibu jumirah temannya yang selalu menemaninya kemanapun ia akan melangkah. Bayangkan, karena kerbatasannya, ia hidup sendiri tanpa seorang istri, anak , bahkan cucu dalam usia yang seharusnya is duduk beristirahat. Tapi, begitulah takdir, orang berhati baik ini. Ditinggal pergi sang istri, dan tak pernah memiliki anak. Kabar beritanya, sang istri telah kembali ke allah swt.
Tatkala orang baik berkata, tak usah dibayangkan, nasib orang mulia yang disayangi allah, yang dirindukan surga. Dalam segala hal, dalam kekurangan apapun, allah selalu melindungi hamba-hambanya.  Dalam reality show ini, terlihat wajah bapak ponimin yang tak mengerti apa -apa saat di minta menolong seorang gadis kecil yang menjual tempat ikan untuk pengobatan kakeknya.
Dikira tak mau, kakek tua ini, malah yang membantu. Dari sekian manusia yang didatangi oleh gadis kecil, berpuluh-puluh orang berdasi hanya menoleh dan meninggalkannya seakan tak melihat. Lain halnya dengan pak ponimin yang benar-benar tak bisa melihat.
Dia tak mungkin tau apa yang terjadi saat itu. Tak seperti orang-orang sebelumnya yang hanya menginginkan imbalan dari jasanya. Bapak ponimin yang hanya memegang uang sebesar 30 ribu, hasil kerja kerasnya dari beberapa hari yang lalu hingga hari itu, rela melepaskan 20 ribu dari hasil keringatnya. Bapak yang ikhlas membantu. Harga 50 ribu memang tak sepadan dengan kantong bapak ponimin. Harga yang ditawarkan si gadis kecil akhirnya runtuh dengan kata mutiara pak ponimin. Dengan uang 20 ribu, ia mendapat ridho allah swt. Dengan keikhlasannya.
Jangan dipersoalkan ikhlas atau tidaknya pemberian bapak ponimin ini. Pasalnya, ia pun tak tau bahkan iapun tak pernah mengenal si gadis kecil itu sebelumnya. Setelah didatangi oleh tim relity show, bapak ponimin ini terlihat kaget dengan kata tim (sensor). Ia tak tau apa-apa. Hal itu tersirat jelas sekali dari wajah pak ponimin yang tadinya tersenyum lebar jadi terlihat ketakutan dengan memegangi siternya.
Menurut saya, bapak ini tergolong  orang-orang yang begitu ikhlas, ia tak tau siapa gadis kecil itu, tak bisa melihat gadis kecil itu, bahkan mendengar suara si gadis kecil juga bapak ponimin merasa kesusahan. Maklum saja, ia memang sudah sangat tua, tapi masalah pribadi yang sebenarnya, itu semua hanya allah yang tahu.
Bapak ini, terlihat jelas mengekspresikan perasaan kagetnya, dan ketakutannyanya. Hal itulah yang membuat saya ingin menangis saat menontonnya. Bayangkan, seoarang lelaki tua dengan usia yang bisa dibilang amat sangat jauh dari muda, dengan keterbatasannya, mampu melakukan hal baik yang jarang dilakukan oleh lelaki muda, dengan dasi bekain sutra, berjalan seolah-olah ia sempurna. Oh…malang sangat nasib orang yang menutuphatinya dari kebaikan.
Kebaikan hati bapak ponimin inilah yang mampu membawanya hidup hingga usia hampir 90 tahun ini. Tak kenal putus asa, dan tak pernah menyerah. Selalu berjuang, meski sendiri, tapi haruslah dia bersyukur, karena allah selalu menjaga orang-orang yang selalu menjaga dirinya.
Allah akan selalu menyayangi orang-orang yang menyayanginya. Itu pasti,karena surga akan selalu menanti kebersihan hati, kesucian jiwa dan ketabahan para peminatnya.
Ingatlah, allah selalu ada di manapun kau berada. Jadi berbuat baiklah selagi kau bisa. Berbuatlah yang membawamu selamat dan menyelamatkan orang lain.

Jumat, 08 Oktober 2010

GULING

Tubuh mungilku selalu kau peluk, dikesunyian petang
Seringkali ku tetap wajah mimpimu,
Dari balik kain ungu ditubuhku
Terkadang aku kaget,
dengan bunyi kring, dari jam wekermu.

Racun semi

Hari indah mata sang surya

Terbia rasa pedih dilubuk jiwa
Rasa keji menusuk raga
Hati ini,
Hatiku !
Miliku!
Bukan untukmu.

Kau bagai goresan sengsara
Menghapus indah dunia cinta
Mengubur airmata dalam wajah senyap
Jiwa ini,
Jiwaku!
Milikku!
Bukan unutk kau gores
Bagai hitam tersirat dalam putih

Bisakah kau pergi?
Terbang seperti burung,
Menghilang bagai memedi,
Tinggalkan hati suci, dingin tak berarti.

Sabtu, 02 Oktober 2010

KAU KEMBALI UNTUK SELAMANYA


Suara kicau burung mulai membangunkanku di hari minggu cerah ini. Terlihat sirat kuning dari ufuk timur mulai mewarnai langit. Aku keluar untuk mengambil Koran. Koran harian langganan keluargaku sudah menunggu di depan. Ku buka pintu rumahku dan ku tarik koran yang terkapar dilantai. Ayahku telah menunggu sang Koran di ruang tengah. Segera ku langkahkan kakiku kesana.
“ dek…tunggu..!” suara dari balik pagar  itu sangat mengagetkanku. Ku tengok ke belakang. Itu  pak post. Aku senang sekali melihatnya. Kakak ku berjanji untuk mengirimiku surat selama ia ada di singapura.
“ ya…! Ada surat untuk saya pak?”  Tanya ku tak sabar untuk melihat surat dari kak dika. Kak dika sudah meninggalkanku ke negeri seberang selama 3 tahun. Dia memang bukan kakak kandungku, tapi adalah tetanggaku sekaligus kakak kelasku disekolah.
Kak dika lebih tua 2 tahun dariku, dan setahuku aku sudah bersamanya sejak aku kecil. Makanya, aku mengenal baik kakak ku itu, dan kami memang terlihat layaknya kakak adik yang sungguhan. Kak dika adalah anak pertama dan satu satunya. Begitu juga denganku. Sebenarnya kak dika pernah mempunyai adik dan katanya sih…seumuran denganku. Tapi saat mereka dalam perjalanan ke Palembang, pesawat mereka mengalami hal yang mengerikan. Kak dika dan ibunya berhasil selamat saat itu. Yah… itulah yang aku tau tentang adiknya.
Dari tadi aku hanya membolak balik memoriku mengingat kak dika. Sampai lupa dengan pak post di depanku ini. Tapi pak pos sedang sibuk mencari cari kertas special dari kak dika.
“nah… ini dia, untuk adek abel” pak pos menyebutkan nama yang tertera di amplop itu unutk memastikan. Lansung saja kuraih amplopnya. Aku tak sabar untuk membacanya. Sampai lupa mengucapkan terimakasih pada bapak berjasa ini.
“em..dek…!” pak post kembali memanggilku.
“ada apa ya pak?” tanyaku saat ia sibuk mencari cari lembaran kertas lainya. Apakah kak dika mengirimiku sesuatu lagi?, pikirku. Oh…ternyata surat tanda terima yang lupa diberikan pak pos padaku. Mungkin karena melihatku yang sangat senang berkat jasanya itu.
Kurangkaikan nama abel di pojok kanan bawah kertas itu. Kali ini aku tak mungkin lupa mengucapkan terimakasih untuk yang kedua kalinya. Pak pos meninggalkan halaman rumahku. Lagi lagi aku lupa. Aku lupa dengan koran yang sudah ditunggu ayah di ruang tengah masih ada di tangan kiriku. Aku berlari kedalam dengan Koran ditangan kiri dan amplop spesial dari kak dika di tangan kananku.
“ ayah…! Korannya di meja tengah!” aku berteriak kepada ayahku yang sedang pergi entah kemana. Aku sudah tak sabar untuk membaca surat itu, karena sudah lama kak dika tak mengirimiku surat. Aku menaiki tangga menuju kamarku dengan langkah lihai.
Ruangan berpintu cokklat diujung ruangan itu adalah kamarku. Kumasuki gudang ceritaku itu. Aku tak mau ada yang menggangguku selama aku bertemu dengan kak dika di suratnya. Ku raih kunci yang bertengger di pintu dan memutarnya sekali untuk menguncinya. Dipan berseprei biru sudah menantiku. Ku hempaskan tubuhku yang memegang erat surat kak dika. Kamarku lah yang akan menjadi saksi perjumpaan ku dengan kakak ku tercinta di surat ini.
‘ untuk adikku abel’.
Abel apa kabar? Masih kangen sama kakak kan ?’
Aku menggerutu senang  dalam hati.
“ harusnya aku yang mengkhawatirkan kakak” gerutuku sendiri pada kertas di depanku itu, dan melanjutkan  membaca.
‘gimana kabar ayah sama mama abel ? semoga mereka baik baik juga ya…!!!’
Mataku tertuju pada kalimt selajutnya.
‘ abel, kakak punya kabar bagus nih…! Kata dokter, keadaan kakak mulai membaik’
“syukurlah…! Aku senang mendengarnya kak…!” aku tersenyum bahagia.
Kak dika, dia pergi ke singapura memang untuk berobat. Dia memang pernah mengatakan padaku bahwa ia sedang sakit, tapi entah sakit apa ia selalu menyembunyikannya rapat-rapat. Tapi aku tahu, kalau penyakitnya ini bukan penyakit biasa, buktinya ia sampai berobat sejauh ini.
‘kakak udah kangen…banget sama adik kakak’
“abel apalagi…abel pengen cepet-cepet ketemu kakak lagi” aku menjawab setiap kalimat dari surat itu layaknya sedang menelpon.
‘ abel masih ingat gag, waktu kita nerbangi layang layang bareng di lapangan?’
Ternyata kak dika masih ingat hari itu, hari-hari yang kulalui bersama kak dika sebelum ia pergi.
“semuanya masih abel simpen baik-baik kok kak…! Menunggu sampek kakak pulang”.
‘oh ya… insyaallah, kakak sama bunda mau pulang minggu depan’
“ye….!!!!!! Hu hui……!!!!!! Kak dika mau pulang….Kak dika pulang…!!!!” Aku belum membaca isi surat itu penuh tapi aku sudah kegirangan. ‘pulang’ kata yang aku nantikan dari setiap surat kak dika. Yah…meskipun hanya melalui surat, tapi cukup untuk menjanjikan kepulangan J.
‘abel jangan lupa ya…kalau kakak pulang nanti, kakak mau liat layang layang yang biasa kita terbangin bareng 3 tahun yang lalu ya…abel masih menyimpannya kan?’
“kak dika jangan khawatir,…semua itu masih ada di dinding kamar abel.” Kataku sambil melirik dinding kamarku.
‘ ya udah…sekian dulu ya surat kakak, maaf nih…kemarin2 kakak gag sempet kirimin abel surat atau email. Oya…sampein salam kakak sama bunda ke ayah sama mama abel ya..! kakak sayang sama abel!’
“ abel juga sayang sama kakak”. Aku yang girang akan kepulangan kakak tercinta langsung memberitahu mama dan ayah. Mereka pun bergembira layaknya aku. Aku sangat menanti kepulangan kak dika. Dulu, kak dika pernah bilang mau pulang, tapi ditunda karena belum diijinkan oleh dokter.
 “Semoga, kali ini kakak beneran pulang, abel ngarep banget kakak pulang, abel juga kangen kak, waktu kita nerbangin layang layang bareng 3 tahun yang lalu.”Aku berkata pada foto kak dika yang nyengir bersamaku. Tidak lupa layang – layang hitam miliknya dan yang biru milikku terpenjara di tangan kami. Rambut kak dika waktu itu, aku masih ingat sekali bagaimana ia menyibakkan rambutnya yang memang terlihat gondrong. Aku juga ingat bagaimana kak dika mengelus-elus rambutku yang menjangkau bahu walau ku ikat satu.
Dua hari sebelum kepulangan kak dika, aku menyiapkan segala yang dikatakan kak dika dalam suratnya. Dinding biru kamarku masih memajang dua layang layang kesayanganku dan kak dika yang amat aku jaga. Seisi kamarku penuh dengan apa yang pernah kulalaui bersama kaka dika. Foto foto masa kecil kami, dan beberapa foto masa SMP ku bersama kak dika, beberapa saat sebelum kak dika meninggalkanku dalam waktu 3 tahun ini, bersemayam di setiap meja dikamarku. Mulai meja rias sampai meja belajarku.
Foto terakhirku dengan kak dika, menempel sebesar 10 R didepan ranjangku. Aku ingin kak dika selalu ada di kamar ini. Aku ingin kak dika selalu menemani hari-hariku. Jadi, inilah jalan satu satunya, yaitu dengan memampang wajah kami berdua besar-besar di hadapanku, dan aku pun bisa melihatnya sebelum aku terbawa oleh mimpi indah tentang kak dika dan aku.
***
Aku lihat kalender yang bertengger di meja samping ranjangku. Ternyata hari ini tanggal merah. “Sabtu yang menyenangkan.” Gumamku ketika ku bergegas keluar kamar. Seperti biasa, setiap hari libur, aku selalu menyatroni Koran yang sudah terbaring di teras depan rumahku.
Pagi ini, cuacanya sangat cerah. Gumpalan awan terlihat indah dengan cahaya kuning yang menghiasinya. Sesampainya aku di ruang depan, aku tak langsung menyamber koran yang tergeletak dibawah. Mataku tertuju pada orang yang berdiri di hadapanku saat itu. Seorang wanita paruh baya dengan anaknya yang kira-kira berusia 18 tahunan itu berdiri dan tersenyum padaku. Aku hampir tak mengenali lelaki itu. Terakhir kali aku melihatnya, rambutnya di jigrak-jigrakkan. Yah…dia lebih suka gaya rambut ala rocker dan tak suka memakai topi. Tapi, kali ini, aku melihat pemandangan lain dari orang yang meninggalkanku 3 tahun yang lalu. Kini, aku melihatnya memaki topi hitam pemberianku sebelum ia pergi yang dulu pernah ia tolak.
Ku pandangi terus wajah yang berbeda dari 3 tahun yang lalu itu. Aku kurang yakin dengan keadaannya saat itu. Aku sedikit khawatir melihatnya. Tapi, ia berhasil menghapus kehawatiranku itu dengan senyum lebarnya yang tak pernah berubah. Kali ini, aku tak ragu lagi untuk memeluknya.
“kak dika…!!!” aku langsung menagkap tubuhnya yang jakung. Kak dika tersenyum padaku dan memelukku erat. Masih sama seperti yang dulu, dia tak pernah lupa untuk mengacak-acak rambutku setiap kali ku memeluknya.
“abel pasti enggak nyangka kakak dateng sekarang!” katanya benar. Aku memang tak menyangka sekali kalau hari inilah aku akan menyambut kak dika. Harusnya besok  dia baru ada di sini. Tapi kurasa, lebih cepat kak dika pulang, itu lebih baik J.
Aku amat senang bertemu dengan kak dika. Aku langsung menyeretnya masuk bersama tante widia yang akarab ku panggil bunda. Mama yang sudah tau kedatangan kak dika dan bunda, langsung menyambutnya gembira. Sayang, hari ini ayah tidak libur.
Sementara bunda dan mama sudah asyik bicara, aku dan kak dika langsung menuju gudang kenangan kami, yaitu kamarku.
“ mana pesanan kakak? Masih disimpen enggak?” kak dika menanyaiku sebelum kami memasuki kamarku.
“jelas masih ada dong..!!!abel selalu menyimpanya baik-baik kak…hehehe” wajahku sangat ceria. Kak dika pun tak mau kalah ceria denganku, meski aku tau dia sedang menahan hal yang sangat menakutkan bagi hidupnya.
“ coba… kakak mau liat…!!!” kak dika menjangkau pintu kamarku lebih dulu, dan tersenyum-senyum melihat ruangan yang tak pernah kurubah sedikit pun dari 3 tahun yang lalu.
“ gimana? Udah percaya kan?” kataku yang tak pernah lupa untuk menghiasi setiap ucapanku dengan senyum semanis-manisnya. Kak dika memandangiku, dan kembali pada dinding yang menampilkan layangan kami. Kak dika langsung manariknya dan berlari menarikku keluar. Aku hanya mengikuti tarikannya.
Rupanya kak dika masih ingat jalan menuju lapangan dengan baik. Lapangan olahraga yang menjadi tempat favorit kami untuk menerbangkan layang layang, masih sama seperti yang dulu. Pohon-pohon masih menghijau di samping lapangan.
“ ini punya abel” kak dika memberiku yang biru.
“dan ini punya kakak” bibirku tersimpul menyambut pemberian kakakku itu.
Kami bermain layaknya masih lkecil. Entah ia yang bahagia atau hanya untuk membahagiakanku, aku juga tak tau. Tapi selama bersamaku, kak dika tak pernah menunjukkan wajahnya yang sakit sama sekali. Aku yang memang sangat senang, tidak pernah bisa menyembunyikan gigi-gigi ku. Hingga sang surya tepat diatas kami, kami  istirahat sejenak di bawah pohon yang dulu juga pernah kami tempati untuk istirahat.
Selama istirahat, aku menceritakan segala hal yang terjadi selama ia pergi. Hal-hal yang sangat ingin aku tumpahkan pada kak dika, benar-benar tercurah saat itu. Hingga kak dika yang ambil bicara.
“abel, kakak benar-benar senang bisa ketemu abel lagi” wajanya masih tidak menyembunyikan keceriaan. Aku tersenyum saat itu. Aku gembira, benar-benar gembira.
“ tapi…kakak punya satu permintaan sama abel” kak dika memandangiku penuh arti.
“apa?” tanyaku manja.
“nanti…seandainya kak dika enggak bisa balik untuk nemuin abel lagi,…” kalimat kak dika terputus. Aku memandanginya sedih. Aku tak ingin itu terjadi.
“ atau kalau suatu saat nanti abel enggak bisa liat kakak lagi…” tak kusadari air mataku telah membanjiri pipiku. Aku tak pernah ingin hal itu terjadi. Samapi-sampai, aku tak bisa berkata-kata lagi.
“abel jangan nangis, kakak akan selalu nemenin abel dimanapun kakak berada.” Kak dika menghela napasnya.
“ kakak akan selalu ingat gimana rasa senangnya kakak ada di samping adik kesayangan kakak ini” ia mencoba tersenyum untuk menghiburku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menagis, dan memegangi tangan kanan kak dika yang terasa dingin.
Napas kak dika terdengar semakin cepat, cepat dan cepat. Tapi ia tetap mencoba untuk menangkanku. Hinga air mataku reda, kak dika baru mengajakku pulang. Ia membantuku berdiri, padahal ia sendiri pun sulit untuk menegapkan badannya seperti yang dulu.
“setelah ini, kak dika enggak langsung balik ke singapur lagi kan?” aku bertanya dengan nada yang masih terdengar sedu. Aku ingin menghabiskan waktu lebih panjang bersama kak dika.
“kakak masih mau menghabiskan waktu di sini” aku lega mendengarnya.
Siang yang indah bahkan terindah yang tak pernah ku lupakan, telah terlewati bersama kak dika sepenuhnya. Aku benar-benar mengenang apa pun yang pernah kami lakukan bersama. Yah…hari ini cukup untuk mengganti 3 tahun yang berlalu.
Jam Sembilan malam, setelah makan malam bersama keluargaku, kak dika dan bunda berpamitan pulang. Sebenarnya aku ingin kak dika dan bunda untuk menginap saja, tapi kak dika menolak. Aku tak mau memaksanya karena ia juga tak pernah memaksaku.
“hati-hati di jalan ya kak..bun…” aku dan kedua orangtua ku melambaikan tangan. Kak dika dan bunda membalasnya dan tersenyum pada kami semua dari balik kaca taksi biru itu.
***
Keeokkan paginya, di udara masih dingin, dan cuacanya yang tak indah, ayah dan mama membawaku ke rumah sakit. Mereka tak memberi tahuku apapun. Aku hanya disuruh menurut saja, dan aku mengikutinya. Aku dan dua layang layang yang di pesani oleh ayah ku untuk membawanya, berjalan dengan langkah gontai. Layang layang yang baru kemarin aku terbangkan bersama kak dika, berkibat-kibut tertiup udara pagi.
Aku melihat bunda dari kejauhan. Cuaca hari ini memberiku firasat yang tak bagus.
“abel…” bunda memanggilku lemas. Matanya terlihat lembam. Aku hanya tertegun, firasat buruk tentang kak dika merambah ke otakku. Langsung ku tengok kedalam. Aku lihat dadanya yang naik turun dari depan pintu. Ku langkahkan kakiku seakan tak percaya. Orang yang selalu melindungiku selama ini, orang yang selalu menyemangatiku selama ini, terbaring lemah disana. Berbagai peralatan rumah sakit melengkapi tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk sejak masuk tadi. Aku lemas….rasanya aku kehilangan semua tulangku.
“ abel….” Terdengar suara lembut yang tak berdaya dari balik corong yang menutupi hidung dan mulut kak dika. Aku mendekatinya sambil menangis. Layang-layang yang kemarin menjadi saksi kegembiraan kami, kini juga menjadi saksi tangisanku di depan kak dika.
“ kak dika….” Aku yang berlumuran air mata langsung meraih tangan dingin kak dika. Aku menggenggam tanganya yang mulai terasa dingin. Aku tak anggup meluncurkan satu kata pun. Ku lihat matanya menatapku. Tak kusangka, aku menangkap matanya yang meneteskan air mata. Matanya menuju ke laying-layang yang kubawa.
“ ini…” aku tak sanggup bicara. Tapi terus kucoba untuk terakhir kalinya menatap mata berair itu.
“ ini…layang layang yang kita terbangkan 3 tahun yang lalu…” aku berhenti. “ dan yang kita terbangkan kemarin kak…” aku melanjutkannya dengan gugup. Sulit untuk membuat mulut ini berbicara, apalagi dengan melihat mata yang memantulkan kesakitan di depanku ini. Tapi,…meski terbata bata…akhirnya aku barhasil lengakapi kalimat ku tadi.
Kak dika menatapku dari tadi. Aku dan dia tau, kemarin adalah hari terakhir untuk menerbangkan laying-layang bersama. Dia meraih layang layang di tanganku dan meggenggamnya bersama.
“ a-bel ja-ngan na-ngis…!!!” suaranya parau dan sedikit terbata bata menambah deras air mataku.
“ ka-kak …eng-gak ... bi-sa…pergi ... la-gi …! Ka-kak  ba-kal di si-ni sela-manya….!” Aku lihat semakin banyak air mata di pipi kak dika, beriringan dengan napasnya yang keluar menjadi satu.
“mung-kin … a-bel … eng-gak … bi-sa … li-at… ka-kak… la-gi…!” lagi lagi napas itu terbuang keras. “ tapi…ka-kak … kan… te-rus… ja-ga… a-bel…” dia berhenti. Aku cemas. Kak dika menarik napas panjang.
“ kak di-ka… ni-tip bun-da ya….!!!” Kak dika agak memaksa tersenyum disela-sela tangisnya.
“dan…ja-ngan lu-pa… ja-ga la-yang…- la- yang-nya…, mes-ki eng-gak bi-sa ki-ta ter-bangin ba-reng - ba-reng la-gi…” ia masih berjuang untuk melanjutkan kalimatnya. Tangisku semakin menjadi jadi.
“ ka-kak sa-yang sa-ma a-bel..!!!!” seketika aku tertegun mendengarnya. Kata kata yang ia gunakan untuk menutup suratnya minggu lalu, juga ia gunakan untuk menutup matanya hari ini. Aku histeris…!
“ kak dika...!!!!!!!” kata itu ku teriakkan berkali kali, hingga ayah, mama dan bunda masuk bersama dokter  dan menenangkanku. Aku tetap menangis dan memanggil nama kak dika berkali-kali. Bunda juga menangisi putranya, dan orangtuaku masih berusaha menenangkanku.
Sangat sulit ku terima, tapi..inilah takdir. Aku ingin kak dika terbang dengan damai bersama laying-layang yang kan terus ku terbangkan meski tanpa kak dika. Dan aku yakin kak dika akan tersenyum  melihatku menarik benang laying-layangnya.

###

Jumat, 01 Oktober 2010

KU BERNYANYI UNTUKMU

Hari ini adalah kali ke 17 aku berkeliling taman ini. Tempat penantianku selama ini. Seseorang yang kunanti selama 17 hari di bulan ini, tahun ini, belum juga ku dapati dirinya. Tapi aku yakin, ia akan menepati janjinya, dan aku yakin, dia tak mungkin lupa dengan bulan akhir penantian. Menunggunya kembali setelah 2 tahun 3 bulan kulalui dengan menanti.
Jam 15.00 WIB, udara taman komplek rumahku terasa dingin. Rupanya langit sedang mendung. Dedaunan melambai tersentuh angin sore. Rambut cepakku juga ikut bergoyang. Terasa sunyi taman ini. Tapi aku tak  ingin hatiku sesunyi dan semendung hari ini. Aku yakin kan temukan hal yang ku cari hari ini. Meski tak tau kapan akhir penantian, tapi aku yakin ini kan segera berakhir.
Benar saja, sepertinya awan hitam di atasku tak menggelapkan suasana hatiku. Hari yang kutunggu, kini hadiri hidupku. Penantianku usai. Tapi rasanya, aku sedikit terlambat datang kemari. Di ujung jalan ini, ditengah-tengah pagar rumput , mataku menangkap sesosok yang berjanji padaku. 2 tahun 3 bulan telah ku lewati untuk menantinya. Ia berjanji kan pulang bulan ini. Dan kutemui ia saat ini, dihari ke 17 di maret mendung ini.
“kak debi…” aku menyebut namanya spontan. Tapi nama itu tak sempat ku teriakkan sampai telinganya. Wajahku yang pernah dibilang ganteng olehnya, terasa mendingin, hati ku meleleh melihat mata berair  yang diusap jari oleh pemiliknya. Aku melihat jelas beberapa meter  dari bangku tempat duduknya. Ternyata tak sia-sia aku membawa gitar acousticku ini selama 17 hari berkeliling taman ini.
Jadi teringat waktu kak debi menyuruhku memainkan lagu pisces dari laruku, band dari jepang yang tak ku tau sama sekali apa maksud lagunya. Tapi kini aku tau lagu itu, dan aku siap bernyanyi untuknya. Saat air mata mengalir di pipi putihnya.
“ nakanaide…nakanaide…taisetsuna hitomi wo…” baru sebaris nada yang kumainkan dengan suara yang kupaksa mirip hyde dan lantunan gitar seindah tetsu, dia sudah menengok ke arahku. Dihapus air matanya dengan kedua tangannya karena  ku nyanyikan lagu pisces itu. Seketika ia berlari memelukku, adik kelasnya  sekaligus sahabatnya yang selalu menanti di taman ini.
Pelukan hangat dari kak debi membawa ku ke denting waktu masa laluku. 2 tahun 3 bulan lalu. Saat abu-abu putih masih menyelubungiku. Di hari aku harus mengucapkan selamat tinggal pada kak debi. Sungguh aku rela, kak debi lulus dari SMA. Tapi, itu membuatku tak bisa memandang wajah manis nan mempesona yang semakin manis saat ia tempeli dengan senyum.
“bagas….!!! Gue lulus..!!” kak debi  berteriak kegirangan di depanku. Aku ingin menyambut senyumannya, perlahan-lahan ku simpulkan bibirku untuknya.
“selamet ya kak!” ucapku dengan senyum yang benar-benar ku paksakan.
“ udah gue bilang, jangan panggil gue kak, kitakan seumuran gas!” kata kak debi benar. Aku dan kak debi memang seumuran, dan kami juga sempat sekelas sewaktu SMP. Hanya saja, sewaktu SMA, kak debi memilih akselerasi untuk hidupnya. Jadi masa SMA nya memang hanya terlewat selama 2 tahun saja. Sejak saat itu, kata ‘kak’ selalu mengiringi kata ‘debi’. Awalnya sih hanya untuk becanda saja, tapi lama kelamaan jadi kebiasaan. Kita bisa karena bisa, bukan begitu?
“ ya…senggaknya gue menghormati yang lebih tua gitu” keceriaanku mulai kuluapkan. Aku ingin bahagia sepenuhnya menyertaiku dan kak debi  siang itu. Matahari yang membakar kulit, hampir tak terasa oleh kami. Semuanya terbias kebahagiaan.
Langkah  beiring tawa menyambut udara siang ditaman komplek rumah kami yang menjadi tempat terfavorit bagi kami sejak SMP. Semua obrolan, canda tawa terluap saat itu. Rasanya tak ingin tersisa walau setetes.
“kak debi…”
“DEP!!!” sahut kak debi langsung. Sepertinya dia benar-benar tak ingin ku panggil kak.
“ iya deh…abis ini, mau ngelanjut ke mana , deb?”  kali ini aku merasa kembali ke SMP, memanggilnya tampa embel-embel kak yang menyertai.
“em..kemana ya? Ke teknik pertambangan ITB kali ya…” kak debi mengucapkan hal serius tapi tampangnya becanda. Rupanya keceriaan karena lulus masih terukir di wajah itu.
“wah…..bakal ninggalin lampung dong…” mataku sedikit melotot, tapi aku tetap tak ingin menghapus senyumku. Sulit untuk membuat senyum semanis ini.
“ jangan khawatir….!” Kak debi menepuk bahuku dengan senyum. “ gue pasti kembali kok!”
“ aku…pasti kembali….” Kunyanyikan lagu milik pasto itu. Yah..maklumlah kalau aku suka bernyanyi. Aku dan kak debi pernah menjadi vokalis band sekolah waktu SMP, dan itu masih kujalani sampai SMA ini, hanya kak debi saja yang tidak meneruskan bakat, sibuk katanya.
“ aduh TTM, tiba tiba mules… hehehe”  canda kak debi mulai muncul.
waw… sah…!” kata-kata khas lampung ku ucapkan untuk meledek kak debi. Ia pun hanya tertawa.
“ eh…lok ngaku vokalis handal, coba nyanyiin lagu pieces punyanya laruku…” kak debi memang suka menentangku. Meragukan keahlianku saja.
“yang mana tuh? Gue lom kenalan ma vokalisnya, jadi kurang tau. Kalok lagu orang cantik kek yui baru gue tau”
“kalok gue kan taunya lagu-lagu orang ganteng kek laruku..” ajang sindir mneyindir telah di mulai. Semenjak masuk SMA ini, kami memang tergila-gila dengan lagu-lagu jepang.
“ lah…gag tau gue…” akhirnya akupun menyerah. “Berbangga hatilah kak debi atas kemenanganmu” gumamku padanya.
“ ugh….debi dilawan” lagaknya yang seperti anak kecil terlihat sudah.
Tak terasa, hari ini terlewat sudah. Cahaya kuning matahari terlintas diantara dedaunan taman.  Aku membonceng kak debi dengan motor  vixion hitam milikku. Corak merahnya serasi dengan ikat rambut yang digunakan kak debi untuk mempersatukan rambut lurusnya.
***
Minggu pagi, aku senam di teras depan. Badanku yang bisa dibilang kerempeng, lok dihitung dengan tinggi badanku yang mencapi 178 cm ini (eits……tapi aku enggak kurus-kurus amat loh..!!!), ku gerakan ke kanan, ke kiri. Wajah tanpa jerawat, ku ayunkan kesamping kanan dan kiri. Yah…sepertinya aku layak disebut cowok ganteng.
Gerakanku terhenti. Mataku tertuju pada suara getar handphoneku.
“halo ! ada apa kak?”
“ eh…gas, cepetan ke taman ya, gue tunggu lo disini. Cepetan,.”
“a…”
‘klik, panggilan terputus’  dasar kak debi, matiin telfon sesukanya dewe, gumamku pada handphone di tanganku. Eh..tunggu dulu, tadi kak debi enggak marahkan, pas aku panggil dia kak? Wah…kali ini panggilan kak ku diterima. Aku tersenyum senyum sendiri memikirkan itu.
Namanya  juga taman komplek, jadi deket dari rumah, dan kuputuskan untuk berlari saja kesana. Yah…hitung-hitung mengurangi polusi lah…! Tapi, ada apa ya, kak debi menyuruh ku ke taman pagi-pagi gini? Biasanya juga siang atau sore jam 3. Ngajakin jogging kali. Ah..tumben amat tu anak ngajakin jogging, pikirku sambil berlari.
“ hei….!” Aku mengagetkan kak debi dengan napas tersengal sengal. Ternyata capek juga lari 100 m.
Aku heran saat menemui kak debi. Ku kira mau mengajakku jogging, tapi kok  pakaiannya rapih gitu, kayak mau pergi aja, pikirku.
“eh..duduk sini gas, gue mau ngomong penting nih ke elo” wajah kak debi memang tak pernah bisa serius. Begitu-gitu saja. Selenge’an. Begitulah bahasaku.
 “penting apaan?” napasku masih tak keruan.
“makanya duduk dulu sini!” wow…kak debi ternyata bisa sewot juga. Untuk mencegah emosi mewabah, aku duduk saja disampingnya. Lagi pula aku juga masih ngos-ngosan.
“gini gas,” sepertinya ini adalah saat yang serius, mata kak debi tak mampu manatapku. Pandangannya terfokus pada tangannya yang usil dengan jemarinya.
“gini gimana?” aku mencoba memecahkan keheningan.
“ya nti dulu, gue kan lagi mikir” kak debi memang tidak bisa serius.
“ ya udah… gimana…gimana…?” aku mencoba mengeluarkan wajah seriusku..
“ gini gas” gini lagi, ucapku dalam batin.
“he’em..” aku memandang kak debi yang hanya menunduk. Kak debi sudah seperti orang mau menyatakan cinta saja.
“ gini gas, “ kak debi mengulangnya sekali lagi.  “gue kan mau kebandung tuh,” kali ini ternyata ada lanjutannya, dan mata kak debi sudah muncul di hadapanku.
“ terus?” Tanyaku yang sudah tau kalok kak debi bakal ke bandung sore itu.
“terus,  orang tua gue mau ikutan pindah ke bandung, katanya gag tega ngebiarin gue disana sendiri”
“jadi, apa masalahnya” aku belagak santai.
“ ya, gue gag bakal pulang ke lampung untuk waktu yang lama” nada bicaranya lantang dan cepat, layaknya kereta express.
Sebenarnya aku sedih juga akan hal itu. Tapi aku mencoba untuk tersenyum. Aku jadi teringat lagu good bye days dari yui, lagu kesayanganku. Rasanya ingin kunyanyikan, tapi ternyata kak debi sudah mulai lebih dahulu.
“oh goodbye days ima kawaru ki ga suru kinou made ni so long…” sepertinya kak debi hanya hafal lirik di reffnya saja. Buktinya langsung mulai ke reff.
“kako yokunai yasashisa ga soba ni aru..kara…” aku menjutknnya.
“lalalala lala with you..” kami nyanyikan itu bersama.
Konser lima menit terdengar di taman itu. Kami memang tak tau malu, pagi-pagi, masih rame orang jogging, eh…malah nyanyi-nyanyi. Di ujung lagu, kami saling bertatapan, dan bersenyum.
“ mau berangkat kapan lo?” aku berusaha berbicara tanpa menyebuit namanya sejak tadi.
“ya ini, abis ini jam sepuluh gue berangkat’
“yah…gue gag bisa nganterin lo deh”  kataku sedih.
“ gag papa kok” kak debi terlihat kecewa, tapi mau bagaimana lagi, sekarang saja sudah jam setengah 10.
“Sorry ya…” aku memasang wajah sedih yang dari tadi kusembunyikan.
“ya, gag papa.” Jawabnya lemas.
“ ya dah sono, nti ketinggalan pesawatnya” kataku dengan senyum yang biasanya ku berikan padanya. Kesannya memang mengusir sih, tapi biar tidak terlarut kesedihan saja.
“ ya dah, gue pergi dulu  ya… da…” aku menyambut lambaian tangannya.
Baru beberapa langkah ia pergi, sudah kembali ke bangku taman lagi.
“ada yang lupa,” muka humor kak debi muncul lagi
“ inget…lo belum nyanyiin lagu pieces buat gue” bisiknya padaku dengan nada sinis.
“oh..siiip dah…” kataku yang tak menyangka dia membisikkan hal itu. Masih ingat saja dia.
***
“ gue kira lo gag bakal dateng ke sini!” tangisnya sambil menepuk dadaku. Tepukan itulah yang membawaku terbang kembali ke taman ini untuk saat ini.
“ haha masa’ pergi meringis, pulang menangis” ledekku melepas pelukkannya, menenteng gitarku ke bangku hijau, tempat kak debi memaksa ku duduk 2 tahun 3 bulan lalu.
“makasih ya..”
“ya..!” balasku tanpa basa-basi, 2 tahun 3 bulan, ternyata tak mengubah kak debi sedikitpun. Tetap seperti yang dulu. SELENGE’AN. Tapi ku suka itu…! :D



The end