-->Kehidupanku berjalan seiring bertambahnya usiaku. Senang - sedih, canda – tawa, aku lewati bersama gelak tawa sahabat dan keluarga. Tawaku berhambur di setiap sudut hal yang ku temui. Rasanya, waktu cepat sekali berputar. Rasanya baru kemarin aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Rasanya matahari semakin cepat mengejar bulan. Dan rasanya, bintang – bintang gemerlapku semakin pudar. Kehidupan cerahku telah terlewat. Terlewat begitu saja. Tanpa ada goresan istimewa di setiap lembar kenangannya. Padahal, hari indah hanya kan ku temui saat itu.
Bintang – bintang semakin memudar, semakin tak cemerlang. Bertambahnya usia ku, bertambah pula pengalamanku. Hal yang dulu hanya angan bagiku, kini dapat kuraih. Hal yang dulu mustahil bagiku, kini telah ku genggam. Meski sedikit dari yang indah, tapi cukuplah tuk singgahi hati yang gundah. Hari hariku terasa makin cepat. Rasanya, baru kemarin ku terima ijazah SMP ku. Baru kemarin ku temui gelak tawa sahabatku. Tapi, ternyata itu sudah 1 tahun yang lalu. Aku memang terlalu lama mengigau. Terlalu lama memimpikan hal yang tak kunjung ku dapatkan.
Satu hal yang tak kunjung kutemukan selama ku berada di bangku kelas 2 SMA ini. Hingga usia ku yang kurang 2 tahun dari 17 tahun ini, aku tak dapat temui. Sempat hatiku pasrah. Pengalaman cintaku lah yang tak pernah bertambah seiring bertambahnya usiaku. Hal-hal yang menyangkut percintaan,( kayak teks proklamasi aja) aku tak mengerti satupun. CINTA. Menurutku cinta hanya sebuah kata yang sederhana namun berarti. Sesungguhnya cinta tak harus dari kekasih tercinta. Harusnya kita telah mencinta. Juga dicinta. Sang bunda dan ayahlah yang begitu setia menemaniku dan mau mencinta juga kucintai hingga saat ini.
Memang, aku harus berbagi kasih sayang orang tuaku untuk adikku. Tapi hal itu tak menyusutkan rasa sayang mereka padaku. Sekolahku, bisa di katakana sedikit elit. Memang lokasinya masih sedikit pelosok. Tapi,…jangan salah - salah…meskipun di desa, sudah standar internasional lho…! Tidak jarang siswa yang membawa peralatan sekolah seperti laptop secara pribadi. Tapi, kalau mobil, sepertinya hal itu, kurang perlu di lakukan di sekolah yang berada di desa ini.
Kelasku, adalah salah satu dari 2 kelas yang memilki keistimewaan tersendiri diantara yang lain. Aku rasa, kami diberlakukan seperti anak SLB. Bahkan memang ada lembaga SLB bagi kelas kami. Jangan salah dulu lho..! SLB di sini, bukan sekolah untuk orang – orang yang memilki keterbatasan mental. Tapi, bagi orang – orang yang memilki prestasi yang cemerlang. Yah…kurasa begitu.
Tidak hanya kualitas siswa yang dituntut untuk berkualitas. Tapi, fasilitas – fasilitasnya pun juga menunjang. Di dinding sebelah kiri, jika kita menghadap ke papan tulis yang ada di sebelah selatan, telah terpasang 2 buah air conditioner. Sebuah layar LCD besar, terbentang ditengah kedua white board yang kami milki. Kami hanya terdiri dari 19 biji nyawa. Sepertinya sih sepi, tapi, sebenarnya kami bisa menjadi lebih rame dari 40 orang lho...! Kadang kami luapkan kebosanan kami dengan music dari laptop pemberian sekolah untuk kelas, atau dari laptiop salah satu teman, dan dilengkapi sound system yang ada di meja guru, di depan papan tulis putih sebalah timur.
Kelasku memang terlihat seperti rumah sendiri. Lemari kayu untuk menyimpan barang – barang seperti alat olahraga berdiri di pojok paling utara. Dispenser dan kulkas, tersedia untuk memenuhi kebutuhan kami. Jika diperlukan, disana juga ada sebuiah televisi dan DVD player. Tapi…itu jarang terpakai dalam pembelajaran. Rak buku dan sebuah lemari macam loker tersedia untuk menampung peralatan belajar kami.
Sepertinya kelasku tak seperti halnya sebuah kelas yang digunakan untuk belajar ya? Tapi begitulah kelasaku. Maka dari itu, selama 2 tahun aku dan ke18 temanku berharap untuk betah tinggal didalam kelas itu. Awal kali ku masuki kelas yang mungkin ukurannya sekitar 8*9 meter itu, aku sangat frustasi. Tiada waktu untuk istirahat. Hampir setiap hari, aku harus berpacaran dengan laptopku atau dengan bukuku. Bahasan ku dengan pacarku tak pernah berubah. Tugas…tugas…dan tetap tugas. Kalau boleh, aku benar- benar ingin cepat putus dengannya. Hal itu benar-benar seimbang dengan isi kelasnya.
Satu hal yang perlu aku syukuri. Untung saja, aku sempat mempelajari bahasa inggris lebih mendalam dengan seorang teman leleaki di SMP. Jadi, aku tak begitu merasa disulitkan ketika ada pembelajaran dengan bahasa inggris. Yah…kelas ku memang dianjurkan untuk mempergunakan bahasa inggris dalam belajar. Memang ribet sih…tapi…begitu lah kelas CIBI atau Akselerasi. Begitu lah kami menyebutnya.
CIBI merupakan nama yang diberikan oleh lembaga SLB yang merupakan singkatan dari ‘cerdas istimewa berbakat istimewa’ dan akselerasi yang berarti percepatan. Aku hanya akan melalui masa SMA ku selama 2 tahun. Itulah program akselerasi. Menyelesaikan sekolah 3 tahun dalam waktu 2 tahun.
C I B I, cerdas istimewa berbakat istimewa, begitulah katanya. Tapi, aku malah merasa bahwa bakat ku tidak begitu ter-ekploitasi di kelas ini. Hari – hari ku tetap ku habiskan dengan pacar setiaku, sang tugas. Uji harian, menunggu hampir setiap akhir pekan pertemuan. Jari ku yang berjalan dari huruf yang satu ke huruf yang lain, hanya bisa menyampaikan perasaan si pemilik hati dan jari dalam lantunan nada puisi. Tiga puluh judul telah kuukir dengan pasanganku. Empat judul esai kucuba rangkai. Tiga fanfic dari anime kesayangan ku pun berhasil ku terbitkan dalam blog ku. Aku belum bisa untuk mempublikasikannya ke media cetak. Hanya dunia mayalah satu satunya kehidupan yang menyenangkan bagiku.
Ku ungkapka semua sampah hati, gembira, duka dan segala hal dalam blogku ini. Jejaring social lain pun kuikuti, yah…untuk mengikuti jaman. Satu bulan berlalu setelah esai terakhirku yang baru ku terbitkan beberapa hari yang lalu, otakku sudah dipenuhi hal-hal konyol dari sang pacar. Aku selalu berfikir, mengapa sang pacar malah selalu membuat ku pusing? Menjelang ujian semester, oktober mendatang, tugas-tugas dan ulangan harian dari calon mertua ( guru) sudah membanjiri kamar sesajenku. Buku buku berhamburan layaknya bunga yang ditebar dikuburan. Laptop setiaku, bak sebuah nisan yang selalu setia menampung air mata pengunjungnya. Tapi, otakku rasanya mulai meleleh seperti besi yang dipanahkan. Sekuat apapun besi, tetap saja bisa meleleh jika dipanaskan.
Sedikit terasa menyiksa memang. Tapi begitulah kehidupanku. Hari hariku kan tersita bersama buku tugas. Hingga terkadang aku lupa akan hobiku. Sebenarnya tidak lupa, hanya saja karena lebih disibukkan bersama pacarku, aku jadi cepat menghilangkan berbagai kata diotakku sebagai penyebab karya karyaku. Bahkan untuk membuat sebuah fanfic dari anime kesayangan ku, yang dulu memang harus diselesaikan sebelum semuanya selesai, sekarang tersingkir bagaikan bekas pacar yang tak mau ditemui. Berkas berkas kenangan lama yang indahkan hidupku dimasa lalu, benar-benar tesimpan rapi dalam folder ingatan di recyclebin otakku.
Belum sempat terbayangkan olehku bila aku harus meninggalkan sahabat dan hobiku untuk hal hal didalam kelas. Hal itu akan sangat menyikasaku. Ditambah lagi jika aku tak bisa menggandeng hobiku tercinta di hatiku. Itu akan lebih menyakitkan dibanding tidak lulus ujian ( sebenarnya sih sama saja ..sakitnya).
Tuntutan guru akan nilai yang bagus tanpa ada nilai dibawah 75 untuk awal jumpa dan 80 sampai nilai sempurna untuk selanjutnya, juga memenuhi memori otakku, hingga tak ada lagi ruang untuk mengingat hal – hal yang dulu hinggapi hidupku. Dulu, bermain musik adalah hobiku. Tapi, hobi itu terpaksa aku tinggalkan karena aku takkan memiliki waktu untuk hal semacam itu. Sebelum ku memasuki ruang ber-AC itu, aku memang sudah mendapat lukisan kehidupan di dalamnya dari para pendahulu. Butuh pertimbangan yang sangat matang memang, hingga akhirnya aku terjerumus pada penjara pilihanku sendiri.
Hingga kini, aku selalu merasa linglung. Merasa bahwa ini bukan hidupku sebenarnya. Seakan - akan aku telah meninggalkan tonggak diriku. Satu hobi yang sangat ku gandrungi saat itu, ku tinggalkan demi masa depan. Tapi saat ini, aku benar-benar menginginkan hobi menulisku ini akan menjadi masa depanku, tanpa harus ada kontra dari orang tua.