Kuhela napas sebelum kunaiki motor vixion hitamku
yang selalu mengantarku ke sekolah tercinta. Pagi ini rasanya aku sangat
berbunga-bunga. Kicau burung rasanya semakin indah saja. Padahal, ibuku sendiri
memarahiku karena terlalu santai. Tapi tak apa, aku memang sedang bahagia pagi
ini.
Aduh,
rasanya ingin tertawa kalau hari ini aku harus bertemu dengan sahabatku, naila.
Perempuan cantik tapi tomboy yang selalu membuatku tersenyum di pagi hari. Aku
tidak bisa membayangkan reaksinya kalau tahu potongan rambutku ini. botak. Ups,
tidak seutuhnya kepalaku botak, hanya dipangkas terlalu pendek saja, sampai
kesannya botak.
Hari
ini aku sengaja tidak berangkat bersama si tomboy, karena aku yakin dia akan
mentertawakan rambutku sebelum aku sampai sekolah. Naila memang sahabat terbaik
bahkan terkadang aku tidak
hanya menganggapnya sebagai sahabat. Entahlah, aku
menganggap naila itu apa, yang jelas dia selalu membuat aku menyunggingkan
sebuah senyum setiap pagi. Entah bagaimana caranya, tapi selalu ada cara
untuknya membuatku tersenyum bahkan tertawa.
Kedekatanku
dengan naila memang sangat dekat, bahkan pernah beberapa temanku mengira kami
ini berpacaran. Padahal, itu hal yang sangat impossible. Naila itu orang yang belum pernah dan dia bilang tidak
akan berpacaran selama SMA ini, sedangkan aku, aku memang belum pernah
berpacaran juga, tapi aku tidak menutupi kemungkinan kalau tahun ini aku
berpacaran.
Ah…
mungkin memang bukan nasibku. Rencana untuk tidak berangkat bersama naila gagal
total. Tak kusangka, si tomboy berambut lurus dan sebahu itu, saat ini sudah
berdiri tegak di halte bus. Bagaimana bisa aku meninggalkan sahabat
tercintaku menanti bus sekolah yang tak kunjung datang. Kuhampiri gadis itu.
rambutnya terikat rapi dan dandanannya yang simple membuaku senang melihatnya.
“woy…
!” ucapku tidak mengagetkannya sama sekali.
“eh
elo! katanya enggak mau bareng gue?” ledeknya. Ya, pagi ini aku memang sudah
mengiriminya pesan untuk berangkat sendiri, tapi melihatnya berdiri nelangsa
begini, aku jadi tidak tega.
“udah,
mau ditebengi enggak?” tawarku yang masih menggunakan helm hitam mengkilapku. Ku
lemparkan helm yang juga sama, berwarna hitam ke naila.
Tin…
Terdengar
sebuah bunyi klakson dari samping kami. Aku tahu wajah naila saat ini pasti
merah. Bagaimana tidak, yang baru saja lewat itu, cowok yang dikaguminya,
maksudku disukainya.
“eh
nai, kalo elo suka napa pas dia nembak elo, enggak elo terima aja?” kataku
dalam kebisingan kendaraan pagi ini. Perjalanan ke sekolah kami masih lumayan
jauh, dan kurasa sekarang belum terlalu siang.
“kan,
gue udah bilang, kalo gue enggak bakal pacaran dulu sebelum lulus SMA. Lagian
keknya dia enggak ganteng-ganteng amat.” jawabnya sedikit mendekat padaku.
“alah,…
itu mah cuman alasan lo aja! Sebenernya elo seneng kan?” ledekku lagi.
“uh,..
enak aja lo! meski gue anak bandel, yah… gue akuilah kalo gue sedikit bandel,
tapi gue juga masih mikirin pelajaran kali ki, emang elo, rajin belajar tapi
enggak rajin ngerjain PR?” katanya lagi. aku bisa melihatnya nyengir di kaca
spionku.
“eh,
tapi bahasa inggris gue top ya! Elo aja sering nyontek PR English ke gue!”
sahutku tak mau kalah menyindir.
“udahlah,
enggak usah banyak ngoceh lagi, liat nih…” naila menyodorkan arlojinya ke
depanku, “jam berapa sekarang?” lanjutnya.
“waduh..
seperempat jam lagi!” aku menaikkan gasnya. Naila yang kaget langsung maju,
“sorry!” teriakku dalam kecepatan yang lumayan.
“uh…
dasar riski, pinter-pinter bego!” balasnya menepuk helmku. Aku hanya tertawa
kecil di balik helm.
***
Masih
ada waktu 5 menit untuk kami berjalan masuk kelas. Perjalanan dari rumah ke
sekolah yang cukup jauh mengharuskan kami berangkat lebih pagi.
“elo
jalan dulu aja deh nai” ujarku yang tak mau ketahuan tentang rambutku.
“enggak
ah, gue mau jalan bareng aja.” jawabnya sambil melepas helm.
“kalo
gue enggak mau gimana?” kataku.
“apa?”
mungkin suaraku terdengar tidak jelas karena tertutup helm.
“kalo
gue enggak mau gimana?” kataku sambil menunduk karena letak telinga naila cukup
jauh dari kepalaku. Ya, naila memang memiliki tinggi badan yang semampai,
semeter tak sampai maksudnya.
“lepas
tu, helmnya” katanya menepuk bagian depan helmku. Cukup untuk mengagetkanku.
Setelah
banyaknya paksaan dari naila, akhirnya aku menyerah untuk menutupi keadaan
kepalaku. Kulepaskan helm, dan tara…
“haha…
kepala lo, kepala lo mengkilap!” tawa naila mengejekku. Sepertinya dia senang
sekali melihat rambutku yang terlalu pendek. “sini, gue mau pegang botak lo”
katanya lagi menarikku untuk menunduk. Aku mengelak.
“ih…
gue itu enggak botak, Cuma terlalu pendek dipangkas aja” belaku. Naila tetap
tertawa.
“ah..
bisanya nyontek.” katanya benar. Itu memang kata-kata naila kalau disebut
pendek. Dia akan berkata ‘gue itu enggak pendek, cuman kurang tinggi aja’ kalo
diejek teman atau siapalah.
“ya
udah lah, masuk aja yok!” kataku meninggalkan naila di belakang.
“tungguin
gue, riski bego!” teriaknya sambil berlari. Aku tetap berjalan. Naila tetap
mengejar sampai akhirnya dia berjalan di sampingku.
Kami
berjalan seperti biasa, berangkat siang, tapi tidak pernah telat. Meski aku dan
naila tergolong siswa yang kurang rajin, tapi pakaian kami masih dibatas
peraturan. Dan nilai kami selama ini, tidak buruk-buruk amat. Bahkan, aku
selalu mendapat nilai bahasa ingris tertinggi dan naila mendapat nilai kimia
tertinggi. Dua-duanya 95. Cukup lumayan untuk ukuran siswa seperti kami.
“eh botak! Nanti pulang sekolah ke rumah
pohon ya, mau ada yang gue omongin! Okey?” aku membacanya dari selembar kertas yang dilemparnya saat
jam pelajaran fisika. Kami memang tidak begitu suka pelajaran fisika, jadi kami
sering ngobrol lewat kertas begini.
“ngomongin apa? ya udah deh, lagian nti gue
juga mau minta ajarin kimia sama lo!” aku melempar kertas ke bangku kedua
di belakangku.
“gue mau nantangin elo test listening.
Gimana?” naila melempar
kertasnya lagi.
“wah… berani nantangin gue?” balasku.
“emang kenapa? elo belum berani nantangin
gue kuis kimia?” balasnya
lagi sementara bu eni, guru fisika masih menulis-nulis rumus yang entah rumus
apa itu, akupun tak begitu mengerti.
“riski, naila! Kalian sudah selesai
bercanda?” aku dan naila
langsung diam mendengar suara yang berasal dari depan itu. waduh, aku sudah
deg-degan, semoga aku tidak disuruh maju untuk mengerjakan soal.
Aku
hanya tersenyum, dan tanpa kusangka, aku dan naila menjawab “sudah kok bu,”
bersamaan dan dengan nada yang sama pula. Mungkin terlalu sering bersama. Alah,
apapun itu, kekompakkan kami berhasil mengundang teman-teman mengucapkan, “cie…
cie…” pada kami.
***
Akhirnya
sekolah selesai juga. Aku dan naila pulang bersama. Ya, seperti kesepakatan
kami tadi sewaktu pelajaran fisika, aku akan ditantang listening test oleh naila. Di tengah perjalanan, kami bertemu asri,
cewek cantik, anggun dan berjilbab. Anaknya putih, tinggi dan aku menyukainya.
“eh,
adek, mau pulang ya dek?” sapaku ramah.
“iya,
kak. Eh, ada kak nai juga. Mau pulang bareng ya?” ucapnya lembut. Aku sempat
melihat naila cemberut melihat aku mengobrol dengan asri. Padahal, asri juga
sering mencoba mengajaknya ngobrol tapi dia hanya membalas dengan senyum.
Sebenarnya aku juga sering merasakan dan mungkin menunjukkan perilaku seperti
yang naila tunjukkan saat ini. tentu aja, pas naila ngobrol, atau ketemu sama
rei, cowok yang diidam-idamkannya. Meski aku enggak kalah tinggi dengan rei,
tapi rasanya rei lebih ganteng dibanding aku. Gimana enggak, pamor rei juga
lebih bagus. Dia juga jago main basket.
Asri
pergi, kini giliran rei dan naila. Kami bertemu rei di tempat parkir. Kali ini
giliran aku yang cemberut melihat naila bermanja-manja pada rei yang
jelas-jelas pernah nembak dia. Kalau saja tidak akan ke rumah pohon, rei pasti
udah nganterin naila pulang. Untung tadi aku dan naila udah janji ke rumah
pohon.
Aku
menghentikan motorku di sebuah tempat yang tak jauh dari keramaian, dan juga
tak begitu dekat dengan keramaian. Inilah, tempat rumah pohon kami berada. Kami
pertama kali ke sini, waktu itu, aku dan naila sengaja mengikuti tukang kebun
naila pulang dan, melihat rumah pohon ini, dan akhirnya rumah pohon ini jadi
saksi pertemanan kami sejak saat itu, saat SMP.
Ternyata
naila benar-benar mempersiapkan dengan baik. Terbukti, sekarang dia sudah
mengeluarkan buku TOP UN, dan sebuah kaset CD, kami akan menyetelnya dengan
laptop yang kubawa. Persiapan selesai, test pun dimulai.
“ah,
kamu ngintip nai…” kataku menarik kertas. Kalau sudah di rumah pohon ini, aku
dan naila, jarang menggunakan sapaan ‘gue-elo’ entah mengapa, tapi itu sudah
terbiasa.
“hehe,”
tawanya yang meregangakan pipinya lebar dan melanjutkan, “aku enggak ngintip
kok ki, cuman sengaja liat aja!” katanya sambil tersenyum menyenangkan.
Alhasil, tes kami adalah tes bercanda. Karena sepanjang tes yang kami lalui,
selalu dipenuhi canda tawa kami. Kadang aku yang menarik kertas nai, atau nai
yang menarik kertasku. Bahkan kadang nai menepuk kepalaku yang selalu diiringi
kata botak.
“sini!”
aku menarik kertas naila, dan lupa akan tes mainan yang kami buat, kami malah
berkejar-kejarn di bawah. Sampai akhirnya aku kalah karena naila terlanjur
nongkrong di pungungku.
“ayo,
kamu ketangkep, sekarang gendong aku sampe rumah pohon” kata naila menepuk
pundakku.
Setelah
sejenak kami beristirahat, pukul 3 sore aku putuskan untuk pulang. Naila juga
begitu. Aku mengantar naila pulang terlebih dahulu, dan selanjutnya pulang.
“da…
makasih ya!” naila melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
Seperti
pagi tadi, aku pulang dengan wajah yang tetap berseri-seri. Bahkan setelah
sampai di kamarku, aku sempat tertawa sendiri, cekikikan sendiri, pokoknya
parah deh. Seperti belum pernah bertemu dengan naila sebelumnya. Padahal, aku
dan naila sudah berteman sejak kelas tiga SMP, dan sekarang kami sudah kelas 3
SMA. Cukup lama kan?
Jujur
saja, saat SMP dulu, aku memang sempat suka pada naila. Tapi karena ucapan
naila kalo dia enggak akan pacaran sebelum lulus SMA, aku jadi pantang ngomong
‘aku sayang kamu’ pada nai. Sejak aku mengikuti tukang kebun nai, bersama nai
juga tentunya, kami jadi akrab dan sejak saat itu, kami berteman dekat.
Tapi
sekarang, rasanya perasaan yang dulu belum sempat tersampaikan, masih tersisa.
Bahkan senyuman asripun belum bisa memudarkan kata ‘aku sayang nai’ dari hatiku.
Tapi tidak mungkin kalau aku akan menjadi pacar nai, meskipun kebanyakan orang
menganggap kami berpacaran. Aku tau nai dan naipun tau aku. Kami sama-sama tahu
tapi tidak tau isi hati kami masing-masing. Naila tahu kalau aku menyukai asri
dan aku tahu naila menyukai rei, cowok yang sempat ditolaknya. Bagaimanapu
perasaanku pada naila, aku tidak bisa mendekatinya dan mengatakan, ‘aku suka
kamu nai’, karena naila adalah sahabatku, dan akan tetap menjadi sahabatku.
The
end…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar