UA-64251474-1

Senin, 14 Februari 2011

Atap Penyatu

Kuhela napas sebelum kunaiki motor vixion hitamku yang selalu mengantarku ke sekolah tercinta. Pagi ini rasanya aku sangat berbunga-bunga. Kicau burung rasanya semakin indah saja. Padahal, ibuku sendiri memarahiku karena terlalu santai. Tapi tak apa, aku memang sedang bahagia pagi ini.
Aduh, rasanya ingin tertawa kalau hari ini aku harus bertemu dengan sahabatku, naila. Perempuan cantik tapi tomboy yang selalu membuatku tersenyum di pagi hari. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya kalau tahu potongan rambutku ini. botak. Ups, tidak seutuhnya kepalaku botak, hanya dipangkas terlalu pendek saja, sampai kesannya botak. 

Hari ini aku sengaja tidak berangkat bersama si tomboy, karena aku yakin dia akan mentertawakan rambutku sebelum aku sampai sekolah. Naila memang sahabat terbaik bahkan terkadang aku tidak
hanya menganggapnya sebagai sahabat. Entahlah, aku menganggap naila itu apa, yang jelas dia selalu membuat aku menyunggingkan sebuah senyum setiap pagi. Entah bagaimana caranya, tapi selalu ada cara untuknya membuatku tersenyum bahkan tertawa.

Kedekatanku dengan naila memang sangat dekat, bahkan pernah beberapa temanku mengira kami ini berpacaran. Padahal, itu hal yang sangat impossible. Naila itu orang yang belum pernah dan dia bilang tidak akan berpacaran selama SMA ini, sedangkan aku, aku memang belum pernah berpacaran juga, tapi aku tidak menutupi kemungkinan kalau tahun ini aku berpacaran.

Ah… mungkin memang bukan nasibku. Rencana untuk tidak berangkat bersama naila gagal total. Tak kusangka, si tomboy berambut lurus dan sebahu itu, saat ini sudah berdiri tegak di  halte bus. Bagaimana bisa aku meninggalkan sahabat tercintaku menanti bus sekolah yang tak kunjung datang. Kuhampiri gadis itu. rambutnya terikat rapi dan dandanannya yang simple membuaku senang melihatnya.

“woy… !” ucapku tidak mengagetkannya sama sekali.

“eh elo! katanya enggak mau bareng gue?” ledeknya. Ya, pagi ini aku memang sudah mengiriminya pesan untuk berangkat sendiri, tapi melihatnya berdiri nelangsa begini, aku jadi tidak tega.

“udah, mau ditebengi enggak?” tawarku yang masih menggunakan helm hitam mengkilapku. Ku lemparkan helm yang juga sama, berwarna hitam ke naila.

Tin…

Terdengar sebuah bunyi klakson dari samping kami. Aku tahu wajah naila saat ini pasti merah. Bagaimana tidak, yang baru saja lewat itu, cowok yang dikaguminya, maksudku disukainya. 

“eh nai, kalo elo suka napa pas dia nembak elo, enggak elo terima aja?” kataku dalam kebisingan kendaraan pagi ini. Perjalanan ke sekolah kami masih lumayan jauh, dan kurasa sekarang belum terlalu siang.

“kan, gue udah bilang, kalo gue enggak bakal pacaran dulu sebelum lulus SMA. Lagian keknya dia enggak ganteng-ganteng amat.” jawabnya sedikit mendekat padaku.

“alah,… itu mah cuman alasan lo aja! Sebenernya elo seneng kan?” ledekku lagi.

“uh,.. enak aja lo! meski gue anak bandel, yah… gue akuilah kalo gue sedikit bandel, tapi gue juga masih mikirin pelajaran kali ki, emang elo, rajin belajar tapi enggak rajin ngerjain PR?” katanya lagi. aku bisa melihatnya nyengir di kaca spionku.

“eh, tapi bahasa inggris gue top ya! Elo aja sering nyontek PR English ke gue!” sahutku tak mau kalah menyindir.

“udahlah, enggak usah banyak ngoceh lagi, liat nih…” naila menyodorkan arlojinya ke depanku, “jam berapa sekarang?” lanjutnya.

“waduh.. seperempat jam lagi!” aku menaikkan gasnya. Naila yang kaget langsung maju, “sorry!” teriakku dalam kecepatan yang lumayan.

“uh… dasar riski, pinter-pinter bego!” balasnya menepuk helmku. Aku hanya tertawa kecil di balik helm.

***

Masih ada waktu 5 menit untuk kami berjalan masuk kelas. Perjalanan dari rumah ke sekolah yang cukup jauh mengharuskan kami berangkat lebih pagi. 

“elo jalan dulu aja deh nai” ujarku yang tak mau ketahuan tentang rambutku.

“enggak ah, gue mau jalan bareng aja.” jawabnya sambil melepas helm.

“kalo gue enggak mau gimana?” kataku. 

“apa?” mungkin suaraku terdengar tidak jelas karena tertutup helm.

“kalo gue enggak mau gimana?” kataku sambil menunduk karena letak telinga naila cukup jauh dari kepalaku. Ya, naila memang memiliki tinggi badan yang semampai, semeter tak sampai maksudnya. 

“lepas tu, helmnya” katanya menepuk bagian depan helmku. Cukup untuk mengagetkanku.

Setelah banyaknya paksaan dari naila, akhirnya aku menyerah untuk menutupi keadaan kepalaku. Kulepaskan helm, dan tara…

“haha… kepala lo, kepala lo mengkilap!” tawa naila mengejekku. Sepertinya dia senang sekali melihat rambutku yang terlalu pendek. “sini, gue mau pegang botak lo” katanya lagi menarikku untuk menunduk. Aku mengelak.

“ih… gue itu enggak botak, Cuma terlalu pendek dipangkas aja” belaku. Naila tetap tertawa. 

“ah.. bisanya nyontek.” katanya benar. Itu memang kata-kata naila kalau disebut pendek. Dia akan berkata ‘gue itu enggak pendek, cuman kurang tinggi aja’ kalo diejek teman atau siapalah.

“ya udah lah, masuk aja yok!” kataku meninggalkan naila di belakang.

“tungguin gue, riski bego!” teriaknya sambil berlari. Aku tetap berjalan. Naila tetap mengejar sampai akhirnya dia berjalan di sampingku. 

Kami berjalan seperti biasa, berangkat siang, tapi tidak pernah telat. Meski aku dan naila tergolong siswa yang kurang rajin, tapi pakaian kami masih dibatas peraturan. Dan nilai kami selama ini, tidak buruk-buruk amat. Bahkan, aku selalu mendapat nilai bahasa ingris tertinggi dan naila mendapat nilai kimia tertinggi. Dua-duanya 95. Cukup lumayan untuk ukuran siswa seperti kami.

“eh botak! Nanti pulang sekolah ke rumah pohon ya, mau ada yang gue omongin! Okey?” aku membacanya dari selembar kertas yang dilemparnya saat jam pelajaran fisika. Kami memang tidak begitu suka pelajaran fisika, jadi kami sering ngobrol lewat kertas begini.

ngomongin apa? ya udah deh, lagian nti gue juga mau minta ajarin kimia sama lo!” aku melempar kertas ke bangku kedua di belakangku. 

“gue mau nantangin elo test listening. Gimana?” naila melempar kertasnya lagi.

“wah… berani nantangin gue?” balasku. 

“emang kenapa? elo belum berani nantangin gue kuis kimia?” balasnya lagi sementara bu eni, guru fisika masih menulis-nulis rumus yang entah rumus apa itu, akupun tak begitu mengerti.

“riski, naila! Kalian sudah selesai bercanda?” aku dan naila langsung diam mendengar suara yang berasal dari depan itu. waduh, aku sudah deg-degan, semoga aku tidak disuruh maju untuk mengerjakan soal. 

Aku hanya tersenyum, dan tanpa kusangka, aku dan naila menjawab “sudah kok bu,” bersamaan dan dengan nada yang sama pula. Mungkin terlalu sering bersama. Alah, apapun itu, kekompakkan kami berhasil mengundang teman-teman mengucapkan, “cie… cie…” pada kami.

***

Akhirnya sekolah selesai juga. Aku dan naila pulang bersama. Ya, seperti kesepakatan kami tadi sewaktu pelajaran fisika, aku akan ditantang listening test oleh naila. Di tengah perjalanan, kami bertemu asri, cewek cantik, anggun dan berjilbab. Anaknya putih, tinggi dan aku menyukainya.
“eh, adek, mau pulang ya dek?” sapaku ramah. 

“iya, kak. Eh, ada kak nai juga. Mau pulang bareng ya?” ucapnya lembut. Aku sempat melihat naila cemberut melihat aku mengobrol dengan asri. Padahal, asri juga sering mencoba mengajaknya ngobrol tapi dia hanya membalas dengan senyum. Sebenarnya aku juga sering merasakan dan mungkin menunjukkan perilaku seperti yang naila tunjukkan saat ini. tentu aja, pas naila ngobrol, atau ketemu sama rei, cowok yang diidam-idamkannya. Meski aku enggak kalah tinggi dengan rei, tapi rasanya rei lebih ganteng dibanding aku. Gimana enggak, pamor rei juga lebih bagus. Dia juga jago main basket.

Asri pergi, kini giliran rei dan naila. Kami bertemu rei di tempat parkir. Kali ini giliran aku yang cemberut melihat naila bermanja-manja pada rei yang jelas-jelas pernah nembak dia. Kalau saja tidak akan ke rumah pohon, rei pasti udah nganterin naila pulang. Untung tadi aku dan naila udah janji ke rumah pohon. 

Aku menghentikan motorku di sebuah tempat yang tak jauh dari keramaian, dan juga tak begitu dekat dengan keramaian. Inilah, tempat rumah pohon kami berada. Kami pertama kali ke sini, waktu itu, aku dan naila sengaja mengikuti tukang kebun naila pulang dan, melihat rumah pohon ini, dan akhirnya rumah pohon ini jadi saksi pertemanan kami sejak saat itu, saat SMP.
Ternyata naila benar-benar mempersiapkan dengan baik. Terbukti, sekarang dia sudah mengeluarkan buku TOP UN, dan sebuah kaset CD, kami akan menyetelnya dengan laptop yang kubawa. Persiapan selesai, test pun dimulai.

“ah, kamu ngintip nai…” kataku menarik kertas. Kalau sudah di rumah pohon ini, aku dan naila, jarang menggunakan sapaan ‘gue-elo’ entah mengapa, tapi itu sudah terbiasa.
“hehe,” tawanya yang meregangakan pipinya lebar dan melanjutkan, “aku enggak ngintip kok ki, cuman sengaja liat aja!” katanya sambil tersenyum menyenangkan. Alhasil, tes kami adalah tes bercanda. Karena sepanjang tes yang kami lalui, selalu dipenuhi canda tawa kami. Kadang aku yang menarik kertas nai, atau nai yang menarik kertasku. Bahkan kadang nai menepuk kepalaku yang selalu diiringi kata botak. 

“sini!” aku menarik kertas naila, dan lupa akan tes mainan yang kami buat, kami malah berkejar-kejarn di bawah. Sampai akhirnya aku kalah karena naila terlanjur nongkrong di pungungku.
“ayo, kamu ketangkep, sekarang gendong aku sampe rumah pohon” kata naila menepuk pundakku.
Setelah sejenak kami beristirahat, pukul 3 sore aku putuskan untuk pulang. Naila juga begitu. Aku mengantar naila pulang terlebih dahulu, dan selanjutnya pulang. 

“da… makasih ya!” naila melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
Seperti pagi tadi, aku pulang dengan wajah yang tetap berseri-seri. Bahkan setelah sampai di kamarku, aku sempat tertawa sendiri, cekikikan sendiri, pokoknya parah deh. Seperti belum pernah bertemu dengan naila sebelumnya. Padahal, aku dan naila sudah berteman sejak kelas tiga SMP, dan sekarang kami sudah kelas 3 SMA. Cukup lama kan? 

Jujur saja, saat SMP dulu, aku memang sempat suka pada naila. Tapi karena ucapan naila kalo dia enggak akan pacaran sebelum lulus SMA, aku jadi pantang ngomong ‘aku sayang kamu’ pada nai. Sejak aku mengikuti tukang kebun nai, bersama nai juga tentunya, kami jadi akrab dan sejak saat itu, kami berteman dekat.

Tapi sekarang, rasanya perasaan yang dulu belum sempat tersampaikan, masih tersisa. Bahkan senyuman asripun belum bisa memudarkan kata ‘aku sayang nai’ dari hatiku. Tapi tidak mungkin kalau aku akan menjadi pacar nai, meskipun kebanyakan orang menganggap kami berpacaran. Aku tau nai dan naipun tau aku. Kami sama-sama tahu tapi tidak tau isi hati kami masing-masing. Naila tahu kalau aku menyukai asri dan aku tahu naila menyukai rei, cowok yang sempat ditolaknya. Bagaimanapu perasaanku pada naila, aku tidak bisa mendekatinya dan mengatakan, ‘aku suka kamu nai’, karena naila adalah sahabatku, dan akan tetap menjadi sahabatku.

The end… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar