Agaknya langit tidak peduli padaku. Langkahku yang
terus berjalan, sesekali tidak mataku berpaling pada arloji di tanganku. Pagi
secerah ini, mungkinkah langit akan menangis? Tidak. Untuk apa langit menangis
di pagi cerah dan indah dimana semua orang menyukainya. Tapi itu tidak untukku.
Aku malah ingin langit menangis. Bodoh sekali aku ini. Ya, aku memang bodoh,
aku tau itu, tapi pagi cerah yang disukai semua orang, kini hanya bisa
menggores luka di hatiku. Rasanya sakit sekali.
Semenjak
keluar rumah, mataku hanya tertunduk menyusuri jalan ke sekolah. Tanpa kata.
Jarak
sekolahku memang tak begitu jauh, maka dari itu, aku selalu berjalan menuju
tempat yang kira-kira hanya seperempat km itu.
Meski
suasana hari ini seharusnya diisi dengan kebahagian layaknya teman-temanku yang
sudah
terlihat mondar-mandir di pintu gerbang, mencoba berebut masuk. Apa?
berebut masuk? Astaga, aku terlalu lama menutupi air mata yang jatuh,
sampai-sampai aku tak sadar jalanku layaknya siput. Aku segera berlari
mendekati pak satpam bersama dengan 3 orang lainnya yang tak ku kenal. Awal
yang bagus untuk hari ini, umpatku dalam hati.
Susah
payah kami bertiga merayu pak satpam agar membukakaan gerbang untuk kami. Kami
merengek, meminta dan akhirnya pak satpam memenuhinya. Aku berfikir andaisaja,
penghuni rumahku seperti pak satpam, mungkin aku tidak akan membawa bekas
linangan air mata ini ke sekolah.
Benar
saja. Peraturan tetap peraturan. Pak satpam boleh saja membiarkanku masuk, tapi
tidak untuk guru super judes di dalam kelasku. Terpaksa aku harus duduk di
samping jendela luar untuk tetap bisa belajar. Tapi usahaku tidak membawa
hasil. Air mataku sesekali ku tahan agar tidak mengalir. Hatiku diselimuti mendung
jika mengingat pagi ini. Tapi aku tidak mau mengingatnya.
“Nanti
siang kita ada jam tambahan, ibu akan adakan pengambilan nilai bab ini.”
“Apa?”
air mata yang hampir menetes ini rasanya berhenti tiba-tiba. Bu oci, guru
fisika tergalak di sekolah ini, akan ulangan? Oh tidak… apa aku harus menderita
lagi? ya ampun, bagaimana aku bisa menikmati belajarku kalau airmataku terus
mendesak keluar?
Bu oci
keluar kelas. Kini giliranku untuk masuk kelas. Seperti biasa, suasana di
kelasku memang gaduh. Untunglah mata lembamku tidak membawa perhatian kelas
padaku. Aku duduk di bangku ketiga di depan guru. Teman sebangkuku seorang
lelaki yang amat ku benci. Namanya, Rian. Dia memang pintar, tapi lagaknya yang
tidak ku sukai. Seperti saat ini, dia sudah terbang ke bangku orang.
Guru
kembali memasuki kelasku. Kini giliran pak patra yang masuk. Guru ini juga
tidak kalah killer-nya dengan bu oci
tadi. Kumisnya lebat hampir menutupi garis bibirnya. Mengerikan sekali kalau
sampai membuatnya marah.
Rian,
teman sebangkuku langsung berlari kembali duduk di samping kiriku. Sempat dia
menatapku, tapi aku menunduk. Aku tidak mau dia tau aku menangis, karena aku
yang selalu bilang, ‘untuk apa menangis, apakah akan ada yang berubah kalau
kita menangis?’.
Perasaanku
yang masih kacau, tidak bisa mendongakkan kepalaku menatap guru di depan. Aku
tahu, sesekali Rian melihat kemurunganku. Kepalaku selalu kutundukkan agar
tidak ada yang melihat lembam di pelupuknya. Rencana ku memang berhasil, tapi
kurasa tidak untuk Rian. Dia tetap mencoba mencuri waktu untuk memastikan
keadaan mataku. Aku tidak berani menatap manapun. Aku hanya bisa berpura-pura
membaca buku agar mataku senantiasa menuduk.
Pelajaran
biologi dari pak patra tinggal menunggu bel selesai.
“Ah,
tidak kok, Pak!” teriakku yang cukup untuk didengar seisi kelas yang langsung
menatapku dan mentertawakanku. Tapi tidak untuk Rian. Entah kenapa aku merasa
dia tau yang kuhadapi saat ini.
“Prita,
bapak bertanya makhluk apa saja yang termasuk coelentera, bukan kamu duduk atau tidak.” entah pak patra
memarihiku atau apa, aku juga tak begitu peduli. Meski seisi kelas sempat
mengocok perut mereka karena kata-kata pak patra, tapi aku tetap menerima.
Pelajaran
kembali dilanjutkan.
Kring…..
Akhirnya
bunyi itu terdengar juga. Barukali ini aku merasa tidak enak belajar biologi
setelah dinobatkan jadi siswa paling menyukai biologi di kelas.
“Mau ke
kantin enggak, Yan?” suara laki-laki yang memanggil penghuni bangku sampingku,
terdengar jelas dari pintu. Aku membereskan bukuku ke tas, dan mencoba untuk
tidak menatap Rian.
“Kamu
duluan aja” aku kaget, sejak kapan Rian duduk di kelas selama jam istirahat?
Tapi, masa bodoh lah, apapun yang dilakukkan Rian, toh itu juga bukan urusanku.
Aku
masih menunduk dan tidak keluar kelas. Itu karena aku sudah berencana untuk
seperti itu sebelumnya. Aku tidak menyangka teman sebangkuku juga melakukan
itu. Aku terus mencoba menyembunyikan mataku yang masih menyiratkan lembam.
Meski kini hatiku mulai terasa nyaman, tapi tetap saja, peristiwa tadi pagi
belum bisa aku terima.
Kini
kelasku benar-benar kosong. Ups, maksudku tidak ada orang lain selain aku, dan
Rian. Belum pernah aku merasa kalau Rian terus menatapku. Tapi begitulah
kenyataannya saat ini. Aku tetap biasa, karena aku tidak pernah merasa sesuatu
yang istimewa.
“Ta!”
suara lembut pangeran di sampingku hanya ku diamkan saja. Apa maunya? Tidak
biasanya dia duduk di kelas seperti ini. Berbicara padaku pula. Oh… Rian,
apasih maumu?
“Hem.”
jawaban singkat yang aku yakin bukan jawaban yang diharapkan Rian. Sesekali
Rian menunduk dan menatapku yang kini berpura-pura membaca buku.
“Kamu
kenapa sih, Ta?” tanya lelaki itu. Tak kusangka, kukira dia akan tetap tidak
mengacuhkan mata lembamku, ternyata dia mampu menatapnya. Dia menatapku dari
samping.
“Tidak
apa!” suaraku agak bergetar. Perasaan aku ingin menangis, masih ingin
terealisasikan.
“Ta,
tidak mungkin kamu tidak apa-apa. Aku merasa kamu tidak seperti biasanya!” kini
aku dan Rian leluasa untuk berbicara blak-blakkan.
“Memangnya
seperti apa aku ini? Aku ya begini, Prita” kuberi tekanan pada namaku. Aku
masih belum mampu menatap mata Rian.
“ke
sini.” Rian memegang kedua sisi pundakku. Awalnya aku ingin marah, tapi aku
tidak bisa marah dengan suara yang masih sering bergetar. Rian menggeser
pundakku di depannya. Berharap aku mau menatapnya. Tapi aku berusaha untuk
menunduk.
“Apa-apaan
sih kamu ini!” aku menepis tangan Rian. Suaraku bergetar. Terserahlah apa yang
akan dipikirkan Rian, tapi suaraku begetar bukan karena saat ini aku hanya
berdua saja dengannya.
Rian
kembali memegangi pundakku.
“Nah
gini,” dia melepaskan pundakku, “tatap aku, Ta.” katanya pelan memandangiku.
Aku terus menunduk. Tangan halus Rian kini menyentuh wajahku. Dingin
memang, tapi aku masih tidak ingin melepas wajahku dari bawah. Tangan Rian
terus berusaha, sampai akhirnya aku yang mengalah. Aku mendongak tapi tidak
tepat memandang wajah Rian.
“Ta,
aku sudah tidak mengenalmu lagi, Ta!” katanya. Aku masih tidak menghiraukannya,
“Ta, tatap aku.” pintanya lagi.
“Prita,
kamu ditunggu pak hasan ke kantor!” kata seorang gadis, lalu pergi. Rian
menatapku. Aku berdiri dan mulai menyingkirkan badan Rian yang mengalangi
langkahku. Aku tidak menghiraukan Rian, meski dia berhasil membuat peristiwa
tadi pagi pergi sebentar dari otakku.
Aku
pergi ke kantor. Aku temui pak hasan, guru pelajaran bahasa. Oh, ternyata aku
harus menyebarkan selebaran pengumuman lomba antar-kelas. Ya sudahlah, aku
terima perintah pak hasan. Setidaknya aku tidak perlu duduk di samping Rian,
dan menyembunyikan mataku yang kurasa kini sudah lumayan baikkan. Aku tidak
akan masuk kelas sampai bel pulang berbunyi. Aku akan ikut rapat osis yang
selalu membosankan bagiku.
Terserahlah
apa yang dipikirkan Rian, yang penting aku akan berusaha menghilangkan kejadian
tadi pagi. Kejadian yang amat menyedihkan.
Bel
pulang berbunyi. Rapat OSIS terus berlangsung, itu artinya aku tidak akan ikut
ulangan fisika ibu oci yang super galak, dan juga tidak dipaksa menatap wajah
Rian lagi. Rapat ini agaknya lama sekali. Entah sudah berapa jam aku di ruang
osis ini. Sampai bel tanda jam tambahan habis, belum juga selesai.
Sudah
10 menit yang lalu bel dibunyikan. Aku keluar ruang OSIS lesu. Aku kembali ke
kelas karena tas sekolahku masih ada di sana. Aku harap Rian sudah pulang saat
ini.
Ternyata
harapanku tidak dikabulkan. Rian tetap duduk di bangkunya dan aku sempat
melihatnya menatap bangkuku. Apa lagi maunya, pikirku. Aku berjalan ke bangkuku
dan mengambil tasku tanpa memandang Rian. Aku melangkah keluar kelas. Rian
mengikutiku.
“Kamu
marah sama aku ya Ta?” aku diam saja, “Ta, kamu kenapa sih?” baru setengah
jalan kami melangkah, dan belum sempat untuk melewati gerbang sekolah,
lagi-lagi Rian memegangi pundakku. Kali ini aku mampu menepisnya. Akhirnya Rian
mengikutiku yang memang tak mau pulang ke rumah. Aku sengaja ingin pergi sejak
tadi pagi. Sejak peristiwa menyedihkan itu. aku terus melangkah ke tempat yang
selalu aku kunjungi setiapkali aku sedih dengan permasalahan yang sama dengan
hari ini. Rian mengikutiku.
“Ta,
kamu mau kemana?” tanyanya. Aku tetap diam. “Ta!” kali ini Rian kembali
memegang pundakku dan menatapku dalam-dalam. Aku mendongak menahan air mataku
yang sejak masuk taman ini ingin mengalir. Rian melembutkan pegangannya. Aku
menghapus airmata yang sempat lewat pelupuk.
“Ta,
aku tau kamu sedang ada masalah.” kata Rian lembut. Dia menarikku mendekati
tempat duduk terdekat. Kali ini aku menurut.
“Ta,
ayolah Ta, tatap aku. Kamu boleh luapkan semua masalah kamu ke aku kok.” kata
Rian. Tangan kirinya memengangi tanganku. Langit sore itu masih sama dengan
tadi pagi. Cerah.
“Ta, “
kata Rian lagi. Dia menatap mataku yang sudah berlumuran airmata.
Spontan
aku memeluk Rian, dan menangis di pelukkannya. Rian mengelus rambutku yang
terkuncir satu.
“Kamu
kenapa sih, Ta? Enggak tumben-tumbennya kamu nangis begini. Aku tau selama ini
aku ngeselin banget, tapi aku juga care
kok sama kamu” kata Rian halus. Aku masih sedu dalam pelukannya.
“Pagi
ini, orangtuaku berantem lagi, yan. Kamu enggak tau kan, kalau aku ini sebenernya
broken home?” Rian mengangguk. Aku
bangun dari pelukkannya. Tanganku masih nyaman dipegangi Rian.
“Rasanya
sedih kalau kita liat orangtua selalu berantem. Apa lagi kalau udah ngomongin
cerai,” aku mengusap airmata yang tersisa di pipi, “kamu belom pernah kan,
dengerin orang tua kamu berantem, sampai-sampai ngomong cerai?” kataku sok tau.
Rian tersenyum padaku.
“Siapa
bilang?” aku menatap Rian. Airmataku tak henti-hentinya ingin keluar, “Bahkan
orangtuaku benar-benar sudah tidak bersama” rasanya Rian mengatakan hal itu
enteng sekali. Kenapa dia bisa terima hal itu, tapi aku tidak? Aku kaget Rian
mengatakannya. Mendengar itu, aku langsung menghentikan keran airmata yang
sulit kumatikan.
“Kamu
beruntung Ta, kamu masih bisa bahagia bareng papa dan mama kamu sampai segede
ini. boro-boro sampe SMA, SD aja aku
sudah tidak melihat ayahku bersama ibuku. Kata nenek, ayah dan ibu sudah
berpisah sejak aku masih kecil, sekitar umur, 3 tahun. Dan selama ini, aku
hanya dirawat nenekku.” kali ini garis kesedihan mulai ada di wajah Rian. Tapi
dia memang lelaki yang tegar, garis itu segera pudar bersama senyumnya.
“Sudahlah,
sekarang kamu pikirin, gimana caranya untuk nyatuin mama papa kamu lagi, jangan
buat nasibmu sama denganku” tambah Rian. Tak kusangka, Rian, si cowok paling
nyebelin ternyata bisa se-care ini,
bahkan melebihi mama dan papaku.
“Hei…
Prita…” aku tersadar kalau aku terdiam mendengar ucapan Rian, “ bukankah kamu
yang bilang, untuk apa menangis. Apakah akan ada yang berubah kalau kita
menangis?” aku tersenyum. Rian ingat bagaimana aku mengatakan itu pada
teman-teman perempuanku yang menangis karena diputusin pacarnya. Tapi ini lain,
aku masih belum bisa meyakinkan diriku untuk tegar dan mengatakan ‘untuk apa
menangis. Apakah akan ada yang berubah kalau kita menangis?’, pada diriku
sendiri.
“Sekarang
waktunya kamu buktiin kalau kamu enggak hanya berkata, tapi kamu juga bisa
melakukannya. Meski itu berat rasanya.” Rian menambahkan kalimat terakhir
dengan nada yang sedikit lebih pelan. Aku tersenyum.
“Terima
kasih ya, Yan.” Ucapku. Aku bahagia mengenal Rian. Meski awalnya aku tidak suka
padanya, dengan sikapnya yang sok tau, sok ganteng, meski sebenarnya memang
ganteng dan satu lagi, dia selalu menyepelekan perempuan. Tapi, kini aku tahu,
tidak selamanya orang yang buruk akan selalu buruk. Ada kalanya dia akan
berubah dan mengerti orang yang membencinya, seperti aku dan Rian.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar