UA-64251474-1

Senin, 14 Februari 2011

Tetap Berkilau, Permata!

Agaknya langit tidak peduli padaku. Langkahku yang terus berjalan, sesekali tidak mataku berpaling pada arloji di tanganku. Pagi secerah ini, mungkinkah langit akan menangis? Tidak. Untuk apa langit menangis di pagi cerah dan indah dimana semua orang menyukainya. Tapi itu tidak untukku. Aku malah ingin langit menangis. Bodoh sekali aku ini. Ya, aku memang bodoh, aku tau itu, tapi pagi cerah yang disukai semua orang, kini hanya bisa menggores luka di hatiku. Rasanya sakit sekali.
Semenjak keluar rumah, mataku hanya tertunduk menyusuri jalan ke sekolah. Tanpa kata.
Jarak sekolahku memang tak begitu jauh, maka dari itu, aku selalu berjalan menuju tempat yang kira-kira hanya seperempat km itu. 

Meski suasana hari ini seharusnya diisi dengan kebahagian layaknya teman-temanku yang sudah
terlihat mondar-mandir di pintu gerbang, mencoba berebut masuk. Apa? berebut masuk? Astaga, aku terlalu lama menutupi air mata yang jatuh, sampai-sampai aku tak sadar jalanku layaknya siput. Aku segera berlari mendekati pak satpam bersama dengan 3 orang lainnya yang tak ku kenal. Awal yang bagus untuk  hari ini, umpatku dalam hati.

Susah payah kami bertiga merayu pak satpam agar membukakaan gerbang untuk kami. Kami merengek, meminta dan akhirnya pak satpam memenuhinya. Aku berfikir andaisaja, penghuni rumahku seperti pak satpam, mungkin aku tidak akan membawa bekas linangan air mata ini ke sekolah. 

Benar saja. Peraturan tetap peraturan. Pak satpam boleh saja membiarkanku masuk, tapi tidak untuk guru super judes di dalam kelasku. Terpaksa aku harus duduk di samping jendela luar untuk tetap bisa belajar. Tapi usahaku tidak membawa hasil. Air mataku sesekali ku tahan agar tidak mengalir. Hatiku diselimuti mendung jika mengingat pagi ini. Tapi aku tidak mau mengingatnya. 

“Nanti siang kita ada jam tambahan, ibu akan adakan pengambilan nilai bab ini.” 

“Apa?” air mata yang hampir menetes ini rasanya berhenti tiba-tiba. Bu oci, guru fisika tergalak di sekolah ini, akan ulangan? Oh tidak… apa aku harus menderita lagi? ya ampun, bagaimana aku bisa menikmati belajarku kalau airmataku terus mendesak keluar?

Bu oci keluar kelas. Kini giliranku untuk masuk kelas. Seperti biasa, suasana di kelasku memang gaduh. Untunglah mata lembamku tidak membawa perhatian kelas padaku. Aku duduk di bangku ketiga di depan guru. Teman sebangkuku seorang lelaki yang amat ku benci. Namanya, Rian. Dia memang pintar, tapi lagaknya yang tidak ku sukai. Seperti saat ini, dia sudah terbang ke bangku orang.

Guru kembali memasuki kelasku. Kini giliran pak patra yang masuk. Guru ini juga tidak kalah killer-nya dengan bu oci tadi. Kumisnya lebat hampir menutupi garis bibirnya. Mengerikan sekali kalau sampai membuatnya marah. 

Rian, teman sebangkuku langsung berlari kembali duduk di samping kiriku. Sempat dia menatapku, tapi aku menunduk. Aku tidak mau dia tau aku menangis, karena aku yang selalu bilang, ‘untuk apa menangis, apakah akan ada yang berubah kalau kita menangis?’. 

Perasaanku yang masih kacau, tidak bisa mendongakkan kepalaku menatap guru di depan. Aku tahu, sesekali Rian melihat kemurunganku. Kepalaku selalu kutundukkan agar tidak ada yang melihat lembam di pelupuknya. Rencana ku memang berhasil, tapi kurasa tidak untuk Rian. Dia tetap mencoba mencuri waktu untuk memastikan keadaan mataku. Aku tidak berani menatap manapun. Aku hanya bisa berpura-pura membaca buku agar mataku senantiasa menuduk.

Pelajaran biologi dari pak patra tinggal menunggu bel selesai. 

“Ah, tidak kok, Pak!” teriakku yang cukup untuk didengar seisi kelas yang langsung menatapku dan mentertawakanku. Tapi tidak untuk Rian. Entah kenapa aku merasa dia tau yang kuhadapi saat ini.

“Prita, bapak bertanya makhluk apa saja yang termasuk coelentera, bukan kamu duduk atau tidak.” entah pak patra memarihiku atau apa, aku juga tak begitu peduli. Meski seisi kelas sempat mengocok perut mereka karena kata-kata pak patra, tapi aku tetap menerima. 

Pelajaran kembali dilanjutkan. 

Kring…..

Akhirnya bunyi itu terdengar juga. Barukali ini aku merasa tidak enak belajar biologi setelah dinobatkan jadi siswa paling menyukai biologi di kelas. 

“Mau ke kantin enggak, Yan?” suara laki-laki yang memanggil penghuni bangku sampingku, terdengar jelas dari pintu. Aku membereskan bukuku ke tas, dan mencoba untuk tidak menatap Rian.

“Kamu duluan aja” aku kaget, sejak kapan Rian duduk di kelas selama jam istirahat? Tapi, masa bodoh lah, apapun yang dilakukkan Rian, toh itu juga bukan urusanku.

Aku masih menunduk dan tidak keluar kelas. Itu karena aku sudah berencana untuk seperti itu sebelumnya. Aku tidak menyangka teman sebangkuku juga melakukan itu. Aku terus mencoba menyembunyikan mataku yang masih menyiratkan lembam. Meski kini hatiku mulai terasa nyaman, tapi tetap saja, peristiwa tadi pagi belum bisa aku terima.

Kini kelasku benar-benar kosong. Ups, maksudku tidak ada orang lain selain aku, dan Rian. Belum pernah aku merasa kalau Rian terus menatapku. Tapi begitulah kenyataannya saat ini. Aku tetap biasa, karena aku tidak pernah merasa sesuatu yang istimewa. 

“Ta!” suara lembut pangeran di sampingku hanya ku diamkan saja. Apa maunya? Tidak biasanya dia duduk di kelas seperti ini. Berbicara padaku pula. Oh… Rian, apasih maumu?

“Hem.” jawaban singkat yang aku yakin bukan jawaban yang diharapkan Rian. Sesekali Rian menunduk dan menatapku yang kini berpura-pura membaca buku. 

“Kamu kenapa sih, Ta?” tanya lelaki itu. Tak kusangka, kukira dia akan tetap tidak mengacuhkan mata lembamku, ternyata dia mampu menatapnya. Dia menatapku dari samping.

“Tidak apa!” suaraku agak bergetar. Perasaan aku ingin menangis, masih ingin terealisasikan. 

“Ta, tidak mungkin kamu tidak apa-apa. Aku merasa kamu tidak seperti biasanya!” kini aku dan Rian leluasa untuk berbicara blak-blakkan. 

“Memangnya seperti apa aku ini? Aku ya begini, Prita” kuberi tekanan pada namaku. Aku masih belum mampu menatap mata Rian. 

“ke sini.” Rian memegang kedua sisi pundakku. Awalnya aku ingin marah, tapi aku tidak bisa marah dengan suara yang masih sering bergetar. Rian menggeser pundakku di depannya. Berharap aku mau menatapnya. Tapi aku berusaha untuk menunduk.

“Apa-apaan sih kamu ini!” aku menepis tangan Rian. Suaraku bergetar. Terserahlah apa yang akan dipikirkan Rian, tapi suaraku begetar bukan karena saat ini aku hanya berdua saja dengannya.
Rian kembali memegangi pundakku. 

“Nah gini,” dia melepaskan pundakku, “tatap aku, Ta.” katanya pelan memandangiku. Aku terus menunduk.  Tangan halus Rian kini menyentuh wajahku. Dingin memang, tapi aku masih tidak ingin melepas wajahku dari bawah. Tangan Rian terus berusaha, sampai akhirnya aku yang mengalah. Aku mendongak tapi tidak tepat memandang wajah Rian. 

“Ta, aku sudah tidak mengenalmu lagi, Ta!” katanya. Aku masih tidak menghiraukannya, “Ta, tatap aku.” pintanya lagi. 

“Prita, kamu ditunggu pak hasan ke kantor!” kata seorang gadis, lalu pergi. Rian menatapku. Aku berdiri dan mulai menyingkirkan badan Rian yang mengalangi langkahku. Aku tidak menghiraukan Rian, meski dia berhasil membuat peristiwa tadi pagi pergi sebentar dari otakku.

Aku pergi ke kantor. Aku temui pak hasan, guru pelajaran bahasa. Oh, ternyata aku harus menyebarkan selebaran pengumuman lomba antar-kelas. Ya sudahlah, aku terima perintah pak hasan. Setidaknya aku tidak perlu duduk di samping Rian, dan menyembunyikan mataku yang kurasa kini sudah lumayan baikkan. Aku tidak akan masuk kelas sampai bel pulang berbunyi. Aku akan ikut rapat osis yang selalu membosankan bagiku.

Terserahlah apa yang dipikirkan Rian, yang penting aku akan berusaha menghilangkan kejadian tadi pagi. Kejadian yang amat menyedihkan. 

Bel pulang berbunyi. Rapat OSIS terus berlangsung, itu artinya aku tidak akan ikut ulangan fisika ibu oci yang super galak, dan juga tidak dipaksa menatap wajah Rian lagi. Rapat ini agaknya lama sekali. Entah sudah berapa jam aku di ruang osis ini. Sampai bel tanda jam tambahan habis, belum juga selesai. 

Sudah 10 menit yang lalu bel dibunyikan. Aku keluar ruang OSIS lesu. Aku kembali ke kelas karena tas sekolahku masih ada di sana. Aku harap Rian sudah pulang saat ini.

Ternyata harapanku tidak dikabulkan. Rian tetap duduk di bangkunya dan aku sempat melihatnya menatap bangkuku. Apa lagi maunya, pikirku. Aku berjalan ke bangkuku dan mengambil tasku tanpa memandang Rian. Aku melangkah keluar kelas. Rian mengikutiku.

“Kamu marah sama aku ya Ta?” aku diam saja, “Ta, kamu kenapa sih?” baru setengah jalan kami melangkah, dan belum sempat untuk melewati gerbang sekolah, lagi-lagi Rian memegangi pundakku. Kali ini aku mampu menepisnya. Akhirnya Rian mengikutiku yang memang tak mau pulang ke rumah. Aku sengaja ingin pergi sejak tadi pagi. Sejak peristiwa menyedihkan itu. aku terus melangkah ke tempat yang selalu aku kunjungi setiapkali aku sedih dengan permasalahan yang sama dengan hari ini. Rian mengikutiku.

“Ta, kamu mau kemana?” tanyanya. Aku tetap diam. “Ta!” kali ini Rian kembali memegang pundakku dan menatapku dalam-dalam. Aku mendongak menahan air mataku yang sejak masuk taman ini ingin mengalir. Rian melembutkan pegangannya. Aku menghapus airmata yang sempat lewat pelupuk.

“Ta, aku tau kamu sedang ada masalah.” kata Rian lembut. Dia menarikku mendekati tempat duduk terdekat. Kali ini aku menurut. 

“Ta, ayolah Ta, tatap aku. Kamu boleh luapkan semua masalah kamu ke aku kok.” kata Rian. Tangan kirinya memengangi tanganku. Langit sore itu masih sama dengan tadi pagi. Cerah.

“Ta, “ kata Rian lagi. Dia menatap mataku yang sudah berlumuran airmata.
Spontan aku memeluk Rian, dan menangis di pelukkannya. Rian mengelus rambutku yang terkuncir satu.

“Kamu kenapa sih, Ta? Enggak tumben-tumbennya kamu nangis begini. Aku tau selama ini aku ngeselin banget, tapi aku juga care kok sama kamu” kata Rian halus. Aku masih sedu dalam pelukannya.

“Pagi ini, orangtuaku berantem lagi, yan. Kamu enggak tau kan, kalau aku ini sebenernya broken home?” Rian mengangguk. Aku bangun dari pelukkannya. Tanganku masih nyaman dipegangi Rian.

“Rasanya sedih kalau kita liat orangtua selalu berantem. Apa lagi kalau udah ngomongin cerai,” aku mengusap airmata yang tersisa di pipi, “kamu belom pernah kan, dengerin orang tua kamu berantem, sampai-sampai ngomong cerai?” kataku sok tau. Rian tersenyum padaku.

“Siapa bilang?” aku menatap Rian. Airmataku tak henti-hentinya ingin keluar, “Bahkan orangtuaku benar-benar sudah tidak bersama” rasanya Rian mengatakan hal itu enteng sekali. Kenapa dia bisa terima hal itu, tapi aku tidak? Aku kaget Rian mengatakannya. Mendengar itu, aku langsung menghentikan keran airmata yang sulit kumatikan.

“Kamu beruntung Ta, kamu masih bisa bahagia bareng papa dan mama kamu sampai segede ini. boro-boro sampe SMA, SD aja aku sudah tidak melihat ayahku bersama ibuku. Kata nenek, ayah dan ibu sudah berpisah sejak aku masih kecil, sekitar umur, 3 tahun. Dan selama ini, aku hanya dirawat nenekku.” kali ini garis kesedihan mulai ada di wajah Rian. Tapi dia memang lelaki yang tegar, garis itu segera pudar bersama senyumnya. 

“Sudahlah, sekarang kamu pikirin, gimana caranya untuk nyatuin mama papa kamu lagi, jangan buat nasibmu sama denganku” tambah Rian. Tak kusangka, Rian, si cowok paling nyebelin ternyata bisa se-care ini, bahkan melebihi mama dan papaku. 

“Hei… Prita…” aku tersadar kalau aku terdiam mendengar ucapan Rian, “ bukankah kamu yang bilang, untuk apa menangis. Apakah akan ada yang berubah kalau kita menangis?” aku tersenyum. Rian ingat bagaimana aku mengatakan itu pada teman-teman perempuanku yang menangis karena diputusin pacarnya. Tapi ini lain, aku masih belum bisa meyakinkan diriku untuk tegar dan mengatakan ‘untuk apa menangis. Apakah akan ada yang berubah kalau kita menangis?’, pada diriku sendiri.

“Sekarang waktunya kamu buktiin kalau kamu enggak hanya berkata, tapi kamu juga bisa melakukannya. Meski itu berat rasanya.” Rian menambahkan kalimat terakhir dengan nada yang sedikit lebih pelan. Aku tersenyum. 

“Terima kasih ya, Yan.” Ucapku. Aku bahagia mengenal Rian. Meski awalnya aku tidak suka padanya, dengan sikapnya yang sok tau, sok ganteng, meski sebenarnya memang ganteng dan satu lagi, dia selalu menyepelekan perempuan. Tapi, kini aku tahu, tidak selamanya orang yang buruk akan selalu buruk. Ada kalanya dia akan berubah dan mengerti orang yang membencinya, seperti aku dan Rian.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar