Source image: google.com |
Dalam buku sejarah semasa duduk di bangku sekolah dasar
maupun sekolah menengah, tercatat masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia
selama 350 tahun. Bukankah itu sebuah angka sejarah yang fantastis bagi sebuah
negara yang kini berdaulat? Sejarah yang begitu kelam hingga tercatat di setiap
buku sekolah. Lantas kini muncul pertanyaan dalam benak saya, “Apa fungsinya
mencantumkan angka besar itu dalam buku pelajaran?”
Dalam sebuah mimipi, diri saya yang lain menjawab dengan
bijak, “Itu untuk mengingatkan bangsamu bagaimana kalian terjajah hingga begitu
lamanya.” Bagaimana bisa? Benar sekali. Setelah mimpi itu saya berpikir, bagaimana
Indonesia bisa, sampai selama itu terjajah oleh kaum imperialisme belanda. Saya
berpikir sangat lama. Padahal jawaban dasarnya ada dalam buku sejarah pula.
Maklum, saya adalah satu di antara seluruh pelajar Indonesia yang tidur di
kelas sejarah.
Politik adu domba jika masih diingat oleh alumnus-alumus kelas sejarah semasa sekolah, merupakan cara yang digunakan pihak kolonial Belanda untuk memecah belah Bangsa Indonesia sehingga memunculkan rasa tidak saling percaya, rasa ingin saling menguasai.
Seperti yang dituliskan Rudi Hartono, pemimpin redaksi
berdikari.com (2012), Bung Karno selama berada dalam penjara kolonial Belanda,
telah melakukan analisa terhadap strategi imperialisme yang meguasai Indonesia
kala itu. Sistem inilah yang kemudian melahirkan politik divide et impera atau politik memecah belah. Menurut soekarno,
imperialisme di mana saja, apapun bentuknya punya slogan yang sama: “Verdeelen heers”-Pecahkan dan kuasai!
Telisik ulang terhadap buku sejarah, tertulis Belanda
menguasai Indonesia secara bertahap. Berawal pada daerah satu dan dilanjutkan
pada daerah yang lainnya. Bukan malah jadi serakah untuk menguasai keseluruhan,
melainkan bersabar pada usaha menguasai sedikit demi sedikit. Lantas melahirkan
sebuah kekuasaan besar yang berlangsung begitu lama.
Sekarang, jika ditanya, masihkah Belanda berkuasa di tanah
pertiwi, NKRI? Saya secara spontan hendak mengatakan “tidak”. Lantas siapa yang
berkuasa atas perpecahan politik yang terjadi akhir-akhir ini. Belandakah? Atau
orang pribumi sendiri?
Koar-koar mahasiswa yang hendak menggulingkan presiden,
menggibarkan bendera di pinggiran setiap kota. Beramai-ramai menggoda media
hingga berbusa. Lantas dibiarkan saja hingga muncul argumentasi media dibungkam
imperialisme pemerintah.
Kembali lagi pada sejarah yang belum sempat tercatat di buku
sekolah, perselisihan KPK-Polri yang sungguh tiada aturan adabnya.
Pejabat-pejabat negara saling menjatuhkan, berlomba-lomba mencari muka di depan
rakyat jelata. Kasus-kasus lama yang mencuat tanpa diketahui dari mana
sumbernya. Asal muncul dari mulut pejabat, rakyat yang maha tidak tahu
segalanya hanya berusaha percaya pada sosok yang sempat meminta kepercayaannya.
Pertanyaan selanjutnya, dari mana kemudian mereka saling
mengetahui belang sang lawan? Perbincangan singkat beberapa waktu silam dengan
seorang manager layanan umum sebuah BUMN memberi saya sebuah jawaban singkat.
Walaupun saya tak begitu paham akan kebenarannya, tetapi pihak asing selalu
menjadi dalang kesewenang-wenangan. Sebagai warisan masa penjajahan kaum
imperialisme, moral yang rendah bahwa kepercayaan di dalam hati dan pikiran
rakyat indonesia: Bangsa penjajah lebih superior dibanding bangsa terjajah,
berlaku pada saya dalam penarikan kesimpulan bahwa argumentasi awal peragraf
ini adalah benar. Lantas bagaimana mereka (pihak asing) mengetahui belang tokoh
perselisihan di dalam negeri? Untuk pertanyaan itu, saya tak tahu benar alasan
untuk menjawabnya.
Diskusi yang singkat itu merujuk pada sebuah pemikiran bahwa
pada dasarnya indonesia sendirilah yang tidak mau melepaskan diri dari pihak
asing. Keterlibatan yang terlalu dalam, kemudian memunculkan perpecahan. Pihak
yang saya sebut “asing” ini akan dengan berani memberi modal untuk
mengungkapkan sebuah kebenaran di tanah pertiwi. Dalih ingin membantu
menyelesaikan perkara justeru memperpelik urusan negara. Sebab, mereka tak akan
rela jika Indonesia berhenti saling tidak percaya. Alih-alih menyelesaikan, justeru
mereka akan meninggalkan situasi konflik yang semakin sulit dipadamkan.
Sebagai pelajar yang semasa belajarnya tidur di kelas
sejarah, saya tak banyak bicara. Hanya satu saja sebuah tanya, “Apakah Indonesia
masih dijajah Belanda?” Tetap Berpikir Merdeka!
*Pojok PKM pertama saya untuk Tabloid Teknokra edisi 142 (kalau tidak salah). Tulisanku masih abal-abal. Critics are pleased. ^^
Kadang aku berpikir, Apakah kita sudah merdeka? Bukan Indonesia? Tapi kita sendiri?
BalasHapusKadang saya berpikir, apakah kita sudah merdeka? Bukan Indonesia? Tapu kita sendiri, sudahkah merdeka?
BalasHapus