Gerimis. Aku lupa itu pukul berapa,
tapi aku buru-buru. Jalanan macet. Klakson kendaraan dibunyikan dari mana-mana.
Kesibukan sore hari, jam pulang kantor biasanya jadi waktu yang tepat untuk aku
beraksi. Tapi hari ini aku buru-buru.
“Hei, Bayu! Dua ditambah dua berapa,
ha?” Aku kenal suara itu. Pria yang selalu mengejekku. Sambil tertawa, Bang
Naga selalu mengolok-olokku. Hal yang biasa. Lantas teman yang lain juga ikut
serta.
“Hei, Bayu! Buru-buru sekali kau.
Duduklah dulu, bagi kami cerita dari dompet-dompet curianmu.” Kali ini Bancet
yang bicara. Dia sama saja, suka mengolok-olokku. Tapi laki-laki itu tidak tau
malu, setelah mengolok-olokku, ia rampas hasil copetanku. Bilangnya pinjam,
tapi sebulan dua bulan, lupa. Lantas pinjam lagi. Begitu saja seterusnya,
sampai aku juga ikut lupa.
Aku tetap berjalan, menghiraukan
ocehan mereka. Setelah Ponge yang bicara, baru aku berhenti. “Kau tidak seperti
biasanya. Kenapa?” tanyanya. Aku duduk sebentar di sebelahnya. Kawasan ini
kumuh, ramai penghuninya, tapi tidak satupun yang punya hubungan baik dengan
petugas ketertiban.
Ponge menyesap rokoknya, lantas
melemparkan bungkusnya padaku, kemudian disusul korek apinya. Aku mengambil
satu, ikut merokok.
“Kemarin kita bertemu kau begitu ceria
memperlihatkan dompet berisi uang dollar. Sekarang kau malah diam saja. Kenapa?
Tak berhasil mencopet?” tanya Ponge.
Aku menyesap rokokku, menggulumnya
dalam mulut dan menghempaskan asapnya ke udara. Ponge hanya memperhatikan.
Kemudian kusesap lagi rokokku.
Sedari dulu aku memang tidak pandai
menyampaikan perasaanku. Walaupun Ponge dan yang lainnya bilang aku pandai
bercerita tentang dompet-dompet copetanku, tapi sejujurnya aku mengatakannya
tanpa berpikir. Cerita itu patah-patah kusampaikan lantas mengundang olok-olok
yang lebih banyak lagi. Anehnya aku justru menganggap olok-olok itu semacam
pujian.
“Aku... –Eghem-“ setelah sesapan ke
sekian, aku bersuara. Suaraku serak. Mungkin karena terlalu banyak merokok,
atau mungkin karena gugup dan khawatir. Sudah jadi semacam kebiasaan, aku
selalu berdeham setelah kata pertama yang kuucapkan.
Kali ini aku mengulum bibir, takut-takut untuk
bercerita. Kupikir baru kali ini aku bertingkah seperti ini. Tapi rasanya tidak
seperti pertama kali. Ponge melihatku seperti biasanya.
Aku mengusap peluh di dahi. Ponge
masih menatapku, tapi kemudian menyerah setelah aku menghembuskan napas. Aku
tidak akan bercerita apa-apa.
Gerimis makin deras tapi orang-orang
di sini suka hujan-hujanan. Langit ditutupi awan putih pekat. Kata seseorang,
hujannya akan lama. Aku mengedipkan mata lebih cepat, menghalangi air hujan
masuk langsung ke mata.
“Kalau ibumu saja tidak sabar
mengurusimu, mungkin kamu bukan anak ibumu!” teriakan itu membuatku menoleh.
Seorang gadis, kira-kira seusiaku, mendorong bocah laki-laki keluar rumah.
Bocah itu diam saja, mengusap wajahnya yang mulai diterpa hujan. Sambil
mendekap kantong plastik hitam, bocah itu mundur, diam saja.
“Pulang sana! Biar sekalian dimarahi
ibumu di rumah,” imbuhnya lantas menutup pintu.
Bocah itu tidak menangis, menoleh pun
tidak. Hanya menatap pintu yang ditutup keras. Bocah itu mengatupkan bibirnya
yang sedari tadi terbuka, lantas menggulumnya, mencicipi air hujan yang
membasahi bibirnya. Tatapannya kosong. Dengan santai, bocah itu menyembunyikan
kantong plastik hitam miliknya ke dalam baju.
Hujan semakin deras tapi bocah itu
tetap santai berjalan ke arah sepedanya digulingkan. Tatapannya masih saja
kosong. Bocah itu menuntun sepedanya. Rantainya lepas, tidak bisa
membetulkannya. Ia tuntun sepedanya sambil memegangi kantong plastik yang ia
sembunyikan dalam baju. Wajahnya polos dan terlihat gampang ditipu serta
bibirnya yang lebih sering terbuka, menutup sebentar untuk menelan ludah
kemudian terbuka lagi.
Akhirnya ia berhenti di bawah beringin
besar yang lumayan jauh dari rumah tadi. Bocah itu menyandarkan sepedanya
kemudian mengeluarkan kantong plastik hitam dari bawah bajunya. Dua buah buku
di dalamnya basah. Tanpa terlihat menyesal atau sekilas kesedihan, bocah itu
tetap santai membuka tiap lembar bukunya. Mengecek PRnya yang belum selesai dan
sekarang tulisannya tampak pudar akibat air hujan.
“Anak Bodoh.” Tiba-tiba bocah itu
bersuara. “Diajari dari dulu tidak bisa-bisa” bocah itu tidak sedang mengumpat.
Bukan juga marah. Itu terdengar tanpa emosi, hanya ungkapan datarnya sembari
mencoret-coret tanah di sekitaran bukunya dengan ranting.
Bocah itu lagi-lagi hanya menatap
hujan yang semakin deras. Buku-bukunya juga semakin basah alih-alih menjadi
kering. Tapi bocah itu tak bergeming dan membiarkan buku-buku itu terbuka dan
basah begitu saja. Setelah beberapa saat barulah ia menghampiri sepedanya,
berusaha memperbaiki rantainya yang lepas. Sesekali hampir berhasil tapi gagal
ketika rodanya diputar.
“Ubay!” teriak bocah lainnya dari kejauhan.
Yang dipanggil menoleh, meninggalkan rantai sepedanya yang tidak jadi-jadi.
“Kok kamu ujan-ujanan? Emang dibolehin
ibumu?” bocah lainnya itu menghampiri bocah Ubay lalu ikut berjongkok di depan
sepeda Ubay.
“Enggak –eghem-,” jawab Ubay. Suaranya
serak dan mengalun. “Aku tadi belajar di rumah Mb Shifa, tapi disuruh pulang.
Orang akunya gak bisa-bisa diajarin,” jelasnya lagi. Ubay meremas-remas
tangannya, menyembunyi jempolnya yang penuh gemuk.
“PRmu udah selesai?” tanya bocah
lainnya itu.
“Belom. Itu,” Ubay menunjuk bukunya,
“bukunya bassah,” sambungnya sambil tertawa patah-patah.
Hujan kembali jadi gerimis. Tetesan
air dari daun pohon beringin hampir tidak ada. Angin berhempus lebih kencang
dari sebelumnya. Ubay mengusap lengannya.
“Oo... Bagus ya...! Dicariin malah hujan-hujanan
di sini!”
Seorang Ibu menghampiri keduanya. Rok
panjangnya dicincing, menghindari cipratan tanah merah yang basah karena hujan.
Ubay berdiri, melihat ke arah wanita itu dengan mata kosong dan bibir yang
terbuka. Ia meremas-remas jemarinya lebih keras.
“Disuruh belajar ke tempat Mbak Shipa malah
main di sini. Mau jadi apa kamu? Ha?!” ibunya terus meneriaki Ubay. Temannya
diam saja, berhenti membolak balikkan buku Ubay.
“Orang Mbak Shifanya nggak mau ngajarin
–eghem-,” suaranya serak, ragu-ragu menjawab.
“HALAH! KAMUNYA AJA YANG MALESAN!”
Ibunya tak mau terima. Menurutnya anaknya hanya mencari alasan agar bisa
hujan-hujanan dan tidak belajar.
Hujan kembali deras, Ubay menatap
tanah di bawahnya. Bibirnya terbuka, sesekali menutup untuk menelan ludah. Air
yang turun dari dedaunan kembali deras. Bukunya semakin basah.
Langit diselimuti awan putih pekat.
Kata ibuku, hujannya pasti lama. Aku menengadah, memperhatikan setiap tetes
yang menerpa mataku. Mataku berdekip sedikit lebih cepat, berkelit dari tetesan
hujan.
“HEI, BAYU! Mau berapa lama lagi kau
hujan-hujanan? HA?” Aku menoleh ke
temanku, Ponge. “Atau kau menunggu Ibuku memarahimu seperti dulu? Ha?”
Itulah, Ponge. Seandainya kau tau, aku
benar-benar menunggu Ibuku mendatangiku. Walaupun memarahiku, menjewerku, dan
mengataiku sebagai anak yang bodoh, tapi ia datang dengan membawakan payung,
menuntunku pulang. Malam harinya ketika aku demam, ia menyelimuti dan
merawatku.
Di langit, kilat menyambar di antara
hujan. Aku memang bodoh sejak dilahirkan. Orang-orang bahkan keluargaku bilang
begitu. Aku bodoh dalam semua hal. Tapi aku pandai mencopet ketika dewasa.
Hingga siang tadi ketika kubuka dompet curian pertamaku, milik Ibuku sendiri
yang kuambil sebagai bekal meninggalkan rumah 8 tahun lalu, aku merasa lebih
pintar.
Aku tidak ingin dilahirkan bodoh.
Ibuku juga tidak ingin. Dan sore ini, ketika senja ditutup awan kelabu, dan
kilat menghantarkan guntur, “Ibu sayang Bayu,” yang kubaca dari kertas di
dompet ibuku membuatku lebih pintar dari sekedar berhasil membagi 10 dengan 3
atau dua ditambah dua.
TAMAT.
Note: Duh... saya nggak bisa bikin judul. Silahkan review, kalau ada yang bisa saran ide yang lebih bagus, dong... hehe. Btw, ini tulisan fiksi saya setelah sekian lama hiatus. Terimakasih sudah mampir. Review(s) please.. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar