UA-64251474-1

Senin, 14 Februari 2011

Sinar Pelangi di Malam Hari

“pelangi…! Sudah waktunya kamu pergi, ini bukan tempatmu lagi.”

“saya mohon bu… ijinkan saya tinggal di sini untuk 3 malam ini saja bu…”

“maaf, tapi kontrakan ini sudah ada yang menyawa dan kamu sudah menunggak pembayaran selama 3 bulan !”

tapi saya janji akan melunasinya bu…”

“yang saya butuhkan uangmu, bukan janjimu. Sudah, sekarang bawa barang-barangmu ini pergi dan cari tempat kontrakkna lain yang mau menampungmu. Tapi ingat, kamu masih harus membayar tunggakanmu selama 3 bulan itu. mengerti!” bentak bu nita pada pelangi sambil melempar tas besar milik pelangi.

Pelangi menangisi tasnya yang mendarat di depannya. Dalam isakannya, sesekali ia memanggil-manggil nama bu nita agar beliau mau mengijinkan pelangi menempati kontrakannya, meski hanya semalam. 

Udara sedingin ini, dan cuaca yang sedikit mendung, ditambah lagi dalam keadaaan malam hari, bukanlah tempat yang aman bagi gadis bernama pelangi. Sambil mengelap airmatanya, pelangi berdiri menenteng tasnya dan mulai melangkah meninggalkan rumah kontrakkannya atau lebih tepatnya bekas rumah kontrakkannya.

“harus kemana aku?” desis pelangi menghela udara yang menyapu lengannya. Sesekali pelangi menengadah memandang langit yang jelas sudah hitam pekat, menahan airmata yang terus mendesak keluar, seperti desakkan kilat di langit.

“andaisaja… aku masih mempunyai keluarga… mungkin hidupku tidak akan seperti ini.” rintihnya lagi. jarang sekali seorang pelangi merintih menyesali takdirnya. 

“ayah… ibu… bisakah kalian mendengar keluhanku…” ujar pelangi saat berjenti di tengah kesunyian malam.

“ibu… ayah… pelangi mau terus belajar sepeerti yang ibu dan ayah inginkan. Tapi, bagaimana pelangi bisa bertahan hidup di kota sebesar Jakarta ini? ayah… tolong pelangi…!” rintihan pelangi kembali terdengar. Kali ini, pelangi memandangi langit gelap yang mulai ramai dengan kilat, lebih lama. 

“kemana bintang-bintang mala mini? Bersembunyi di mana mereka? mengapa mereka tidak menghibur pelangi?” ucap pelangi mengamati desiran angin malam yang melewati matanya yang terus menatap langit kosong.

“ayah… ibu… dulu pelangi sangat bahagia, apalagi saat ibu, berseriyta tentang bintang pada pelangi…” pelangi berkata seraya melamun. 

Ibunya, seorang guru TK, secara rutin berserita pada sang gadis kecil yang kira-kira berusia 9 tahun-pelangi- tentang terangnya bintang, gembiranya metap bintang, dan lain sebagainya.

“bulan dan bintang itu berteman akrab lho, pelangi!” ucap ibunya suatu malam.

“ohya ? Kenapa begitu?” tanya si gadis kecil pelangi.

“itulah indahnya ciptaan tuhan…” ujar ibunya sambil tersenyum.

Tidur-tiduran di beranda rumahnya, sambil menatap sang penguasa malam, terasa nyaman saat tangan halus sang bunda menyentuh rambut sang anak.

“palangi…”

“iya bu…”

“maafkan ibu ya, nak!” pelangi kaget. Mengapa ibu berjata begitu?

“maksud ibu?”

“kamu ini masih kecil pelangi, tapi kamu itu terasa sangat dewasa. Ibu tahu bagaimana seharusnya anak seusiamu bermain, bercanda bersama teman, tapi, kamu tidak bisa merasakan itu semua …”

“ibu jangan bicara begitu. Pelangi dewasa, bukankah itu seharunya jadi kebanggaan ibu dan ayah?”

“tapi ibu ingin membahagiakan pelangi, sebelum akhirnya pelangi harus membahagiakan diri sendiri.” Ibu pelangi meneteskan seberkas air bening dari peluuk matanya.

“ibu… jangan menangis…” ucap pelangi mengusap air mata ibunya…

“lihatlah pelangi… bulan dan bintang itu… mereka selalu bersama!”

“iya, ibu sudah mengucapkannya tadi…” ibu pelangi kembali menghapus sisa airmatanya dan tersenyumpada sang anak.

“bayangkanlah pelangi, bulan itu adalah ibu, dan bintang-bintang itu adalah kamu dan ayah!” pelangi memjamkan matanya dan membuanya sembari tersenyu pada ibunya.

“bulan itu tidak punya cahaya sendiri… dan cahaya terangnya itu, berasal dari bintang-bintang di sekelilingnya.” 

“seharusnya pelangilah bulan dan ibu dan ayah adalah bintang. Pelangi selalu mebutuhkan ibu dan ayah…!”

“tidak selamanya begitu anakku… suatu saat nanti, kaulah yang manjadi bintang. Ibu dan ayah akan emnemanimu dam memnintamu menerangi kami.”

“ibu…”

“kamu akan menjadi anak kebanggaan ibu dan ayah. Menjadi bintang ayah dan ibu. Sekarang masuklah dan tidurlah nak!” perintah ibu pelangi dan pelangpun langsung beridiri berisiap-siap meninggalkan sang ibu.

Setengah langkah, pelangi kembali menengok kea rah ibunya yang duduk sendiri di beranda rumahnya. Rasa kaget sempat menimpa yang ibu ketika pelangi mendadak memeluknya dan terisak tangis.

“pelangi ada apa?” tanya ibu pelangi mendengar isakan tangis tanpa airmata milik pelangi.

“pelangi hanya ingin memeluk ibu…” ucap pelangi membuat sang ibu menyunggingkan seutas senyum manis si sela pelukan anaknya.

“ya sudah,” katanya sambil menganggkat bahu pelangi sebelum melanjutkan, “sekarang pelangi tidur ya… hari sudah larut, besok pelangi harus bantu ibu berjualan” pelangi melepaskan pelukannya pada sang dan tersenyum sembari mengusap airmata yang hanya menjangkau pelupuknya.

Kamar pelangi berada tepat di samping beranda, jadi ia dapat mendengar secara jelas percakapan ayah dan ibunya, beberapa saat setelah pelangi masuk kamar. Mungkin ayah dan ibunya mengira pelangi sudah larut dalam mimpi masa kecilnya.

“ibu khawatir yah, kalau suatu saat nanti pelangi tidak seperti bintang yang selaalu kita harapkan.” Ucap sang ibu sambil emnatap taburan bintang di langit.

“ibu jangan begitu, pelangi itu anak kita satu-satunya, dan tentunya dia akan menjadi pelangi malam yang bersinar bagai bintang. Ayah yakin, pelangi mampu menyongsong mimpinya…” ucap ayah. Tangannya menyentuh halus pundak ibu dan mengikuti arah mata ibu menelusuri gelam langit malam.

Di balik sudut beranda rumah, sesosok anak kecil yang dikira sudah dewasa, mendengarkan dan mencermati setiap kata yang menembus bilik bambu rumahnya. Bantal lusuh tempatnya menidurkan kepala, saat ini sudah basah karena airmata yang mengucur. Pelangi sebagai anak seorang buruh bangunan dan ibunya hanya seorang guru TK sekaligus penjual gorengan keliling, hanya meratapi nasibnya sebagai gadis kecil yang harus menelan pahitnya pasir dunia.

Suatu hari saat ayah pelangi dipindahkerjakan untuk menyelesaikan proyek bangunan di suatu wilayah, ibunya berniat untuk menemani. Tapi takdir belum berpihak pada pelangi. Diusianya yang kurang dari 10 tahun, ia ditinggal oleh kedua orangtuanya. Perjalanan hidupnya semakin terasa tak jelas. Ditambah lagi, dia haru menjadi pelangi yang bersinar di malam hari, seperti kemauan ayah dan ibunya.

Awalnya pelangi sempat menghabiskan 1 tahun dari usianya hanya untuk bekerja di sebuah warteg dan menjadi loper Koran. Pekerjaan yang berat untuk gadis kecil seusia pelangi. Pelangi yang sudah tumbuh dewasa, sudah terbiasa dengan deburan debu yang terombang-ambing bersama udara. Berlembar-lembar Koran yang selalu diantarnya ke setiap rumah di komplek perumahan sederhana sambil berangkat sekolah, ternyaata cukup untuk membiayai makan gadis itu. 

Seberapa beruntungnya pelangi yang masih menyimpan harapan sang orangtua. Setiap malam, teutama saat ia bisa menatap bulan sabit yang dikelilingi bintang, pelangi selalu membayangkah kerudung ibunya dan rambut gondrong ayahnya dalam cahaya bintang untuk bulan. Bagaimana pelangi berguarau pada sang ayah untuk memangkas rambut hitam pekal yang seringkali dihiasi debu, pelangi sering tertawa saat melamunkannya.

Kehidupan pelangi terasa semakin beruntung saja. Kemuliaannya dan kepandaiannya membuatnya dapat meluluskan sekolahnya hingga tingkat SMA. Tentunya dengan segala beasiswa yang didapatnya. Beasiswa dan uang hasil bekerja sebagai loper Koran terasa angat kurang utnuk emmenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi, pelangi harus berkonsentrasi belajar dan tentu memerlukan tambahan uang untuk membeli buku. 

Setiap pagi, pelangi mengayuh sepeda roda duanya meneglilingi komplek, mengantarkan korna langganan yang sudah bertahun-tahun bersamanya, dan setiap sore menjelang malam, pelangi memberi les pada bocah-bocah SD. Cukup untuk memenuhi kebutuhan pelangi.

Tak disangka-sangka, cita-citanya menjadi pelangi yang bersinar di malam hari sudah di depan mata. Pelangi berhasil menjeblos perguruan ternama di Indonesia. 

“ayah… ibu… hiks… perlu satu langkah lagi yah… pelangi hanya butuh satu langkah lagi…” rintihnya dalam ingatan tentang ayah dan Ibunya. 

“satu langkah lagi, pelangi akan bersinar sebagai bintang ibu…!” tangisnya kembali tersedu-sedu.
Tiba-tiba siluet bening menyilaukan datang dari samping pelangi duduk di pinggir jalan. Sebuah kijanng inove berwarna silver berhasil membuat mata bengkak pelangi menyipit. Kedua tangannya membelai pipinya yang berlumuran airmata.

“pelangi? Kamu mau kemana?” tanya seorang pria separuh baya yang pelangi kenal sebagai pak mulyo. Seperti namanya, orangtua satu ini sangat mulia, terlebih lagi pada si gadis kcil yang menjelma menjadi dewasa di pinggir jalan.

“bapak?” ucapnya menghilangkan nada getar di suaranya.

“iya, mau kemana kamu pelangi, ayo cepat masuk. Malam-malam begini, dipinggir jalan, tidak baik untuk kesehatanmu!” kata pak mulyo lagi. kaca mobilnya yang terbuka separo itudibuka oleh pelangi.
“terimakasih pak!” ucapnya.

“tadi bapak mau ke kontrakan kamu, tapi katanya kamu sudah pindah. Pindah kemana pelangi?” 

“saya… saya bukan pindah pak. Tapi saya di usir. Maaf pak, saya bukannya mau membuat-“

“sudah tidak apa! kamu itu sudah seperi anak bapak sendiri. Apalagi jasa kamu dalam membimbing dimas, bapak juga berterima kasih atas jasa kamu” deru mobil pak mulyo mulai terdengar. Jalannya halus dan pelan. Pelangi tersenyum menjawab ucapan terimaksaih pak mulyo.

“oya, tadi dimas juga mencarimu. Kamu sudah sepeerti kakak untuk dimas. Jadi kalau kamu mau, kamu bisa pulang ke rumahmu.” Ucap pak mulyo membuat pelangi bingung.

“maksud bapak?” respon pelangi.

“iya, rumah bapak, rumahmu juga. Dimas akan menjadi adik kamu. Kamu mau kan?”

“tapi pak? Saya sudah benyak merepotkan bapak…! Masa saya harus-“

“kamu tinggal di rumah bapak, menjadi anak bapak dan menjadi kakak serta guru les buat dimas, itu sudah menjadi imbalan buat bapak!” potong pak mulyo seakan tahu kaliamt kelanjutan pelangi.
Mau bagaiman lagi perasaan pelangi? Dia hanya berpikir tentang hal positifnya. Dia kira, inilah malaikat yang dikirim ayah dan ibunya untuk melangkah satu langkah lagi demi menjdai pelangi yang bersinar bagai bintang.

#end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar