“pelangi…! Sudah waktunya kamu pergi, ini bukan
tempatmu lagi.”
“saya
mohon bu… ijinkan saya tinggal di sini untuk 3 malam ini saja bu…”
“maaf,
tapi kontrakan ini sudah ada yang menyawa dan kamu sudah menunggak pembayaran
selama 3 bulan !”
“
tapi
saya janji akan melunasinya bu…”
“yang
saya butuhkan uangmu, bukan janjimu. Sudah, sekarang bawa barang-barangmu ini
pergi dan cari tempat kontrakkna lain yang mau menampungmu. Tapi ingat, kamu
masih harus membayar tunggakanmu selama 3 bulan itu. mengerti!” bentak bu nita
pada pelangi sambil melempar tas besar milik pelangi.
Pelangi
menangisi tasnya yang mendarat di depannya. Dalam isakannya, sesekali ia
memanggil-manggil nama bu nita agar beliau mau mengijinkan pelangi menempati
kontrakannya, meski hanya semalam.
Udara
sedingin ini, dan cuaca yang sedikit mendung, ditambah lagi dalam keadaaan
malam hari, bukanlah tempat yang aman bagi gadis bernama pelangi. Sambil
mengelap airmatanya, pelangi berdiri menenteng tasnya dan mulai melangkah
meninggalkan rumah kontrakkannya atau lebih tepatnya bekas rumah kontrakkannya.
“harus
kemana aku?” desis pelangi menghela udara yang menyapu lengannya. Sesekali
pelangi menengadah memandang langit yang jelas sudah hitam pekat, menahan
airmata yang terus mendesak keluar, seperti desakkan kilat di langit.
“andaisaja…
aku masih mempunyai keluarga… mungkin hidupku tidak akan seperti ini.”
rintihnya lagi. jarang sekali seorang pelangi merintih menyesali takdirnya.
“ayah…
ibu… bisakah kalian mendengar keluhanku…” ujar pelangi saat berjenti di tengah
kesunyian malam.
“ibu…
ayah… pelangi mau terus belajar sepeerti yang ibu dan ayah inginkan. Tapi,
bagaimana pelangi bisa bertahan hidup di kota sebesar Jakarta ini? ayah… tolong
pelangi…!” rintihan pelangi kembali terdengar. Kali ini, pelangi memandangi
langit gelap yang mulai ramai dengan kilat, lebih lama.
“kemana
bintang-bintang mala mini? Bersembunyi di mana mereka? mengapa mereka tidak
menghibur pelangi?” ucap pelangi mengamati desiran angin malam yang melewati
matanya yang terus menatap langit kosong.
“ayah…
ibu… dulu pelangi sangat bahagia, apalagi saat ibu, berseriyta tentang bintang
pada pelangi…” pelangi berkata seraya melamun.
Ibunya,
seorang guru TK, secara rutin berserita pada sang gadis kecil yang kira-kira
berusia 9 tahun-pelangi- tentang terangnya bintang, gembiranya metap bintang,
dan lain sebagainya.
“bulan
dan bintang itu berteman akrab lho, pelangi!” ucap ibunya suatu malam.
“ohya ?
Kenapa begitu?” tanya si gadis kecil pelangi.
“itulah
indahnya ciptaan tuhan…” ujar ibunya sambil tersenyum.
Tidur-tiduran
di beranda rumahnya, sambil menatap sang penguasa malam, terasa nyaman saat
tangan halus sang bunda menyentuh rambut sang anak.
“palangi…”
“iya
bu…”
“maafkan
ibu ya, nak!” pelangi kaget. Mengapa ibu berjata begitu?
“maksud
ibu?”
“kamu
ini masih kecil pelangi, tapi kamu itu terasa sangat dewasa. Ibu tahu bagaimana
seharusnya anak seusiamu bermain, bercanda bersama teman, tapi, kamu tidak bisa
merasakan itu semua …”
“ibu
jangan bicara begitu. Pelangi dewasa, bukankah itu seharunya jadi kebanggaan
ibu dan ayah?”
“tapi
ibu ingin membahagiakan pelangi, sebelum akhirnya pelangi harus membahagiakan
diri sendiri.” Ibu pelangi meneteskan seberkas air bening dari peluuk matanya.
“ibu…
jangan menangis…” ucap pelangi mengusap air mata ibunya…
“lihatlah
pelangi… bulan dan bintang itu… mereka selalu bersama!”
“iya,
ibu sudah mengucapkannya tadi…” ibu pelangi kembali menghapus sisa airmatanya
dan tersenyumpada sang anak.
“bayangkanlah
pelangi, bulan itu adalah ibu, dan bintang-bintang itu adalah kamu dan ayah!”
pelangi memjamkan matanya dan membuanya sembari tersenyu pada ibunya.
“bulan
itu tidak punya cahaya sendiri… dan cahaya terangnya itu, berasal dari
bintang-bintang di sekelilingnya.”
“seharusnya
pelangilah bulan dan ibu dan ayah adalah bintang. Pelangi selalu mebutuhkan ibu
dan ayah…!”
“tidak
selamanya begitu anakku… suatu saat nanti, kaulah yang manjadi bintang. Ibu dan
ayah akan emnemanimu dam memnintamu menerangi kami.”
“ibu…”
“kamu
akan menjadi anak kebanggaan ibu dan ayah. Menjadi bintang ayah dan ibu.
Sekarang masuklah dan tidurlah nak!” perintah ibu pelangi dan pelangpun
langsung beridiri berisiap-siap meninggalkan sang ibu.
Setengah
langkah, pelangi kembali menengok kea rah ibunya yang duduk sendiri di beranda
rumahnya. Rasa kaget sempat menimpa yang ibu ketika pelangi mendadak memeluknya
dan terisak tangis.
“pelangi
ada apa?” tanya ibu pelangi mendengar isakan tangis tanpa airmata milik pelangi.
“pelangi
hanya ingin memeluk ibu…” ucap pelangi membuat sang ibu menyunggingkan seutas
senyum manis si sela pelukan anaknya.
“ya
sudah,” katanya sambil menganggkat bahu pelangi sebelum melanjutkan, “sekarang
pelangi tidur ya… hari sudah larut, besok pelangi harus bantu ibu berjualan”
pelangi melepaskan pelukannya pada sang dan tersenyum sembari mengusap airmata
yang hanya menjangkau pelupuknya.
Kamar
pelangi berada tepat di samping beranda, jadi ia dapat mendengar secara jelas
percakapan ayah dan ibunya, beberapa saat setelah pelangi masuk kamar. Mungkin
ayah dan ibunya mengira pelangi sudah larut dalam mimpi masa kecilnya.
“ibu
khawatir yah, kalau suatu saat nanti pelangi tidak seperti bintang yang selaalu
kita harapkan.” Ucap sang ibu sambil emnatap taburan bintang di langit.
“ibu jangan
begitu, pelangi itu anak kita satu-satunya, dan tentunya dia akan menjadi
pelangi malam yang bersinar bagai bintang. Ayah yakin, pelangi mampu
menyongsong mimpinya…” ucap ayah. Tangannya menyentuh halus pundak ibu dan
mengikuti arah mata ibu menelusuri gelam langit malam.
Di
balik sudut beranda rumah, sesosok anak kecil yang dikira sudah dewasa,
mendengarkan dan mencermati setiap kata yang menembus bilik bambu rumahnya.
Bantal lusuh tempatnya menidurkan kepala, saat ini sudah basah karena airmata
yang mengucur. Pelangi sebagai anak seorang buruh bangunan dan ibunya hanya
seorang guru TK sekaligus penjual gorengan keliling, hanya meratapi nasibnya
sebagai gadis kecil yang harus menelan pahitnya pasir dunia.
Suatu
hari saat ayah pelangi dipindahkerjakan untuk menyelesaikan proyek bangunan di
suatu wilayah, ibunya berniat untuk menemani. Tapi takdir belum berpihak pada
pelangi. Diusianya yang kurang dari 10 tahun, ia ditinggal oleh kedua
orangtuanya. Perjalanan hidupnya semakin terasa tak jelas. Ditambah lagi, dia
haru menjadi pelangi yang bersinar di malam hari, seperti kemauan ayah dan
ibunya.
Awalnya
pelangi sempat menghabiskan 1 tahun dari usianya hanya untuk bekerja di sebuah
warteg dan menjadi loper Koran. Pekerjaan yang berat untuk gadis kecil seusia
pelangi. Pelangi yang sudah tumbuh dewasa, sudah terbiasa dengan deburan debu
yang terombang-ambing bersama udara. Berlembar-lembar Koran yang selalu
diantarnya ke setiap rumah di komplek perumahan sederhana sambil berangkat
sekolah, ternyaata cukup untuk membiayai makan gadis itu.
Seberapa
beruntungnya pelangi yang masih menyimpan harapan sang orangtua. Setiap malam,
teutama saat ia bisa menatap bulan sabit yang dikelilingi bintang, pelangi
selalu membayangkah kerudung ibunya dan rambut gondrong ayahnya dalam cahaya
bintang untuk bulan. Bagaimana pelangi berguarau pada sang ayah untuk memangkas
rambut hitam pekal yang seringkali dihiasi debu, pelangi sering tertawa saat
melamunkannya.
Kehidupan
pelangi terasa semakin beruntung saja. Kemuliaannya dan kepandaiannya
membuatnya dapat meluluskan sekolahnya hingga tingkat SMA. Tentunya dengan
segala beasiswa yang didapatnya. Beasiswa dan uang hasil bekerja sebagai loper
Koran terasa angat kurang utnuk emmenuhi kebutuhan hidupnya. Apalagi, pelangi
harus berkonsentrasi belajar dan tentu memerlukan tambahan uang untuk membeli
buku.
Setiap
pagi, pelangi mengayuh sepeda roda duanya meneglilingi komplek, mengantarkan
korna langganan yang sudah bertahun-tahun bersamanya, dan setiap sore menjelang
malam, pelangi memberi les pada bocah-bocah SD. Cukup untuk memenuhi kebutuhan
pelangi.
Tak
disangka-sangka, cita-citanya menjadi pelangi yang bersinar di malam hari sudah
di depan mata. Pelangi berhasil menjeblos perguruan ternama di Indonesia.
“ayah…
ibu… hiks… perlu satu langkah lagi yah… pelangi hanya butuh satu langkah lagi…”
rintihnya dalam ingatan tentang ayah dan Ibunya.
“satu
langkah lagi, pelangi akan bersinar sebagai bintang ibu…!” tangisnya kembali
tersedu-sedu.
Tiba-tiba
siluet bening menyilaukan datang dari samping pelangi duduk di pinggir jalan.
Sebuah kijanng inove berwarna silver berhasil membuat mata bengkak pelangi
menyipit. Kedua tangannya membelai pipinya yang berlumuran airmata.
“pelangi?
Kamu mau kemana?” tanya seorang pria separuh baya yang pelangi kenal sebagai
pak mulyo. Seperti namanya, orangtua satu ini sangat mulia, terlebih lagi pada
si gadis kcil yang menjelma menjadi dewasa di pinggir jalan.
“bapak?”
ucapnya menghilangkan nada getar di suaranya.
“iya,
mau kemana kamu pelangi, ayo cepat masuk. Malam-malam begini, dipinggir jalan,
tidak baik untuk kesehatanmu!” kata pak mulyo lagi. kaca mobilnya yang terbuka
separo itudibuka oleh pelangi.
“terimakasih
pak!” ucapnya.
“tadi
bapak mau ke kontrakan kamu, tapi katanya kamu sudah pindah. Pindah kemana pelangi?”
“saya…
saya bukan pindah pak. Tapi saya di usir. Maaf pak, saya bukannya mau membuat-“
“sudah
tidak apa! kamu itu sudah seperi anak bapak sendiri. Apalagi jasa kamu dalam
membimbing dimas, bapak juga berterima kasih atas jasa kamu” deru mobil pak
mulyo mulai terdengar. Jalannya halus dan pelan. Pelangi tersenyum menjawab
ucapan terimaksaih pak mulyo.
“oya,
tadi dimas juga mencarimu. Kamu sudah sepeerti kakak untuk dimas. Jadi kalau
kamu mau, kamu bisa pulang ke rumahmu.” Ucap pak mulyo membuat pelangi bingung.
“maksud
bapak?” respon pelangi.
“iya,
rumah bapak, rumahmu juga. Dimas akan menjadi adik kamu. Kamu mau kan?”
“tapi
pak? Saya sudah benyak merepotkan bapak…! Masa saya harus-“
“kamu
tinggal di rumah bapak, menjadi anak bapak dan menjadi kakak serta guru les
buat dimas, itu sudah menjadi imbalan buat bapak!” potong pak mulyo seakan tahu
kaliamt kelanjutan pelangi.
Mau
bagaiman lagi perasaan pelangi? Dia hanya berpikir tentang hal positifnya. Dia
kira, inilah malaikat yang dikirim ayah dan ibunya untuk melangkah satu langkah
lagi demi menjdai pelangi yang bersinar bagai bintang.
#end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar