Minggu pagi yang cerah. Aku terbangun karena sinar
matahari yang menembus kaca jendela kamarku. Kicau burung menandakan asrinya
rumahku. Berkas-berkas sinar sang mentari hanya mampu menari di celah kecil
hordeng yang terbuka. Aku bangkit dari ranjang empuk nan berantakan dan
meluaskan lapangan tari bagi matahari. Mataku sedikit menyipit. Sinar matahari
menusuk kornea mataku. Jendela kaca yang tak begitu lebar dan letaknya yang tak
jauh dari dasar lantai sudah kubuka. Wangi udara pagi dan embun yang masih
menempel di dedaunan mulai menusuk tulang rawan di hidungku.
Aku
menarik napas sambil memejamkan mata. Merentangkan tangan untuk menyapa sang
pagi.
Capung ungu yang kemarin sore menginap di dahan bungaku masih tertidur
pulas rupanya. Aku tidak bisa melihat matanya berkedip. Ia hanya bertengger dan
tak bergerak sedikitpun. Sayapnyapun terkesan kaku.
Aku
menengok jam dinding yang tepat berada di meja belajar, samping jendela. Pukul
7.00 rupanya. Aroma sedap masakan ibuku menembus daun pintu kamarku.Aku
menghirup aromanya bersamaan dengan menghirup udara yang masuk melalui jendela.
Menatap
sang capung mungil, yang acap kali mampir dan menginap di dahan bunga bougenvil
di samping kamarku, aku jadi ingin tahu, apakah capung sepertinya memiliki
keluarga sepertiku juga? Anak TK pun akan menjawab, “tentu saja capung punya
mama papa. Kalau tidak, dari mana asal mereka?”
Tidur
si ungu kecil sepertinya sangat pulas. Bahkan sampai matahari hampir menyentuh
cakrawala, dia masih menutup telinga. Dahan yang ditumpanginya bergoyang ditiup
angin pagi. Embun yang menempel lembut di daunnya menetes. aku jadi penasaran,
apa capung itu tidak kedinginan tidur di luar seperti itu? beralaskan dahan,
dan setiap pagi, dia selalu bersahabat dengan embun.
Kakiku
terasa tak kuat menopang berat badanku selama mengamati si capung. Aku ingin
tahu, jam berapa dia akan pergi dari dahan itu? kuangkat kakiku dan
meletakkannya di kusen jendela. Entahlah, kusen ini kuat tidak menopang berat
badanku yang hanya 28 kg ini.
Bosan
juga menunggui sang cantik membuka matanya. Aku raih sepenggal daun dari pohon
yang sama dengan sang capung, sehingga membuatnya kaget dan mengepakkan
sayapnya.
“ups… aku
menggagu tidurnya” seruku. Aku kaget. Hebat sekali dia, baru tersentuh dahan,
dia langsung membuka dan mengepakkan sayapnya.
Si
capung kecil sempat berputar-putar sejenak hingga ia hinggap kembali di dahan
yang sedikit jauh dari tempatku duduk. Mungkin dia sedang memperhatikan
orang-orang berlalu lalang. Berolahraga. Mungkin dia menghayal seandainya ia
bisa menaiki sepeda, dan tidak harus terbang sepanjang hari.
Sementara
si capung berpindah dahan, kini tanaman bougenvil miliknya ditempati oleh
seekor kupu-kupu kuning cantik nan jelita. Mengepak-kepakkan sayap.
Meloncat-loncat. Kebetulan bunga bougenvilku sedang berbunga.
Bunga
bougenvil ungu, kecil-kecil, tadinya serasi dengan warna si capung, tapi
sekarang lebih serasi dengan warna kuning si kupu-kupu. Kupu-kupu itu terbang.
Kukira ia akan mencari tanaman lain yang mungkin lebih banya nectar. Ternyata
salah. Dia hanya gerbang sedikit kea rah si ungu yang langsung terbang beberapa
cm ke atas menyambut kehadiran si kupu-kupu. Mungkin kupu-kupu manis itu sedang
menyapa sang jantan-capung-.
“hei…
kalian ini saling beramah tamah ya?” tanyaku pada dua sejoli di hadapanku.
Siapa yang tidak akan mengatakanku aneh? Lagakku yang ingin seperti nabi
sulaiman, bisa berbicara dengan hewan, pasti akan ditertawakan oleh kakakku,
aji kalau dia sampai tahu aku menemani kupu-kupu kuning itu dengan si capung
yang sedang beramah-tamah.
Embun
di dedaunan mulai memudar. Suara kicau burung di samping rumahku juga mulai
sayup-sayup. Yang mulai ramai terdengar hanyalah suara deru mobil dan motor
yang berlalu lalang di depan halaman rumahku.
Di
sela-sela deru mobil yang mulai ramai, terdengar pula suara canda bocah-bocah
kecil yang setiap hari minggu mengadakan lomba balap sepeda. Si cantik dan si
ganteng di hadapanku ini, rupanya sedang bermain. Mungkin mereka seperti
bocah-bocah itu. mereka sedang bermain dengan caranya sendiri. Mungkin di
setiap loncatan dan kepakan sayap sang kupu-kupu, dia menceritakan pengalaman
tidurnya semalam.
Sementara
sang kupu-kupu menjilat dan menikmati sisa nectar di atas bunga bougenvil ungu
yang masih sangat muda, si capung malah terbang-terbang kecil di atasnya.
Mungkin sambil bercerita tentang semalam. Saat ia menyaksikanku mencoba menutup
mata, menyaksikanku masuk ke alam mimpi, juga menatap bibirku yang tersenyum
saat bermimi indah. Tapi, mungkinkah, sang capung ungu itu akan bercerita
tentang pengalamannya tidur di atas dahan yang semakin pagi semakin basah?
Aku
cemberut mengingat alas tidur sang capung yang akan basah saat fajar mulai
menyapa. Terkadang aku berpikir, andaisaja aku bisa mengadopsimu sebagai
saudaraku, kau akan menggantikan posisi kak aji.
Kali
ini kupu-kupu kuning itu berdiam di salah satu mahkota bunga bougenvilku,
sedangkan sang capung, dia juga berhenti menari dan menetapkan dirinya di dahan
bersebelahan dengan sang kupu-kupu. Aduhai akrab sekali mereka.
Mungkinkah
mereka menatap kawanan kupu-kupu yang mulai datang dari hadapan mereka? aduh…
kalau kawanan kupu datang dan si kuning di sebelah capung akan mengikuti
kawanannya, siapa yang akan menemani si capung? Apa dia juga tak punya kawanan?
Kasihan sekali. Aku ingin menjadi kawanannya.
Benar
saja, kawanan kupu berwarna warni sudah terbang semakin dekat kea rah bunga
bougenvilku. Beberapa meter dari jendela, aku melihat seorang anak kecil
mengejar-kejar kawanan kupu-kupu yang tak terlalu banyak jumlahnya. Kupu-kupu
yang sedang istirahat selesai sarapan di depankupun ikut terbang bersama
kawanannnya. Sedangkan sang capung, dia sendiri. Terbang-terbang tak tentu. Aku
heran, mengapa ia tidak mencoba terbang mencari kawanannya? Tapi sejak tadi aku
merasa aneh pada capung itu, kenapa ia hanya terbang sebatas 30-50 cm? ada apa
dengannya?
Oh…
kemana saja mataku pagi ini? sampai-sampai tak menemukan setitik luka yang
menggores sayap kirinya.
“oh…
capung… ternyata kau terluka…” spontan aku bangun ingin menangkap sang capung
tapi ia malah terbang.
“hei!
Aku hanya ingin mengobatimu sobat! Kembalilah!”
“hei
dasar cebol gila!” suara lelaki berusia sekita 15 tahun memanggilku dari
halaman luar. Sialnya, dia memanggilku cebol. Badanku memang tak sempurna, tapi
aku ingin membela diri. Aku yakin aku bisa membela dan mempertahankan diri
seperti capung yang luka di sayap, tapi ia masih bisa terbang.
“dasar
kak aji usil! Mau apa?” tanyaku baru sadar.
“balapan
yok!” ajaknya semangat. Aku memandanginya yang sudah mengenakan helm sepeda
untuk menutupi kepalanya, dan jelana yang menurutku kegedean untuk kak aji. Kak
aji juga sudah siap dengan sepeda gunungnya.
“woy!
Malah ngelamun… buruan ambil sepeda. Gue tungguin lo di sini! Buruan, cebol!”
huh… sebel setengah hidup aku mendengar ucapan kak aji. Untuk membuktikan bahwa
aku, tidak kalah ahli dengan kak aji, kuterima saja tentangannya.
Aku
berlari ke belakang dan mengambil helm serta menempelkannya di kepalaku dan
mulai mengeluarkan sepeda balap hadiah ulangtahun ke 10 ku dari ayah. Persiapan
lengkap, aku menyusul kak aji di halaman depan dengan piama yang masih menempel.
“takut
kalah enggak?” tanya kak aji sok. Aku hanya mendengus.
Kupu-kupu
mungil tadi saja bisa langsung pergi melihat kawanannya yang dikejar-kejar
seorang bocah kecil, dan capung itu juga menghindar saat aku mendekatinya, tapi
aku tidak akan menghindar dari kak aji, karena aku akan membuktikan bahwa aku
bisa menjadi adik yang harus di hormati dengan penuh kasih sayang.
The
end…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar