UA-64251474-1

Senin, 14 Februari 2011

Insting Hewan, dan Akalku

Minggu pagi yang cerah. Aku terbangun karena sinar matahari yang menembus kaca jendela kamarku. Kicau burung menandakan asrinya rumahku. Berkas-berkas sinar sang mentari hanya mampu menari di celah kecil hordeng yang terbuka. Aku bangkit dari ranjang empuk nan berantakan dan meluaskan lapangan tari bagi matahari. Mataku sedikit menyipit. Sinar matahari menusuk kornea mataku. Jendela kaca yang tak begitu lebar dan letaknya yang tak jauh dari dasar lantai sudah kubuka. Wangi udara pagi dan embun yang masih menempel di dedaunan mulai menusuk tulang rawan di hidungku.

Aku menarik napas sambil memejamkan mata. Merentangkan tangan untuk menyapa sang pagi.
Capung ungu yang kemarin sore menginap di dahan bungaku masih tertidur pulas rupanya. Aku tidak bisa melihat matanya berkedip. Ia hanya bertengger dan tak bergerak sedikitpun. Sayapnyapun terkesan kaku.

Aku menengok jam dinding yang tepat berada di meja belajar, samping jendela. Pukul 7.00 rupanya. Aroma sedap masakan ibuku menembus daun pintu kamarku.Aku menghirup aromanya bersamaan dengan menghirup udara yang masuk melalui jendela. 

Menatap sang capung mungil, yang acap kali mampir dan menginap di dahan bunga bougenvil di samping kamarku, aku jadi ingin tahu, apakah capung sepertinya memiliki keluarga sepertiku juga? Anak TK pun akan menjawab, “tentu saja capung punya mama papa. Kalau tidak, dari mana asal mereka?” 

Tidur si ungu kecil sepertinya sangat pulas. Bahkan sampai matahari hampir menyentuh cakrawala, dia masih menutup telinga. Dahan yang ditumpanginya bergoyang ditiup angin pagi. Embun yang menempel lembut di daunnya menetes. aku jadi penasaran, apa capung itu tidak kedinginan tidur di luar seperti itu? beralaskan dahan, dan setiap pagi, dia selalu bersahabat dengan embun.
Kakiku terasa tak kuat menopang berat badanku selama mengamati si capung. Aku ingin tahu, jam berapa dia akan pergi dari dahan itu? kuangkat kakiku dan meletakkannya di kusen jendela. Entahlah, kusen ini kuat tidak menopang berat badanku yang hanya 28 kg ini. 

Bosan juga menunggui sang cantik membuka matanya. Aku raih sepenggal daun dari pohon yang sama dengan sang capung, sehingga membuatnya kaget dan mengepakkan sayapnya.

“ups… aku menggagu tidurnya” seruku. Aku kaget. Hebat sekali dia, baru tersentuh dahan, dia langsung membuka dan mengepakkan sayapnya. 

Si capung kecil sempat berputar-putar sejenak hingga ia hinggap kembali di dahan yang sedikit jauh dari tempatku duduk. Mungkin dia sedang memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Berolahraga. Mungkin dia menghayal seandainya ia bisa menaiki sepeda, dan tidak harus terbang sepanjang hari.
Sementara si capung berpindah dahan, kini tanaman bougenvil miliknya ditempati oleh seekor kupu-kupu kuning cantik nan jelita. Mengepak-kepakkan sayap. Meloncat-loncat. Kebetulan bunga bougenvilku sedang berbunga. 

Bunga bougenvil ungu, kecil-kecil, tadinya serasi dengan warna si capung, tapi sekarang lebih serasi dengan warna kuning si kupu-kupu. Kupu-kupu itu terbang. Kukira ia akan mencari tanaman lain yang mungkin lebih banya nectar. Ternyata salah. Dia hanya gerbang sedikit kea rah si ungu yang langsung terbang beberapa cm ke atas menyambut kehadiran si kupu-kupu. Mungkin kupu-kupu manis itu sedang menyapa sang jantan-capung-.

“hei… kalian ini saling beramah tamah ya?” tanyaku pada dua sejoli di hadapanku. Siapa yang tidak akan mengatakanku aneh? Lagakku yang ingin seperti nabi sulaiman, bisa berbicara dengan hewan, pasti akan ditertawakan oleh kakakku, aji kalau dia sampai tahu aku menemani kupu-kupu kuning itu dengan si capung yang sedang beramah-tamah.

Embun di dedaunan mulai memudar. Suara kicau burung di samping rumahku juga mulai sayup-sayup. Yang mulai ramai terdengar hanyalah suara deru mobil dan motor yang berlalu lalang di depan halaman rumahku. 

Di sela-sela deru mobil yang mulai ramai, terdengar pula suara canda bocah-bocah kecil yang setiap hari minggu mengadakan lomba balap sepeda. Si cantik dan si ganteng di hadapanku ini, rupanya sedang bermain. Mungkin mereka seperti bocah-bocah itu. mereka sedang bermain dengan caranya sendiri. Mungkin di setiap loncatan dan kepakan sayap sang kupu-kupu, dia menceritakan pengalaman tidurnya semalam.

Sementara sang kupu-kupu menjilat dan menikmati sisa nectar di atas bunga bougenvil ungu yang masih sangat muda, si capung malah terbang-terbang kecil di atasnya. Mungkin sambil bercerita tentang semalam. Saat ia menyaksikanku mencoba menutup mata, menyaksikanku masuk ke alam mimpi, juga menatap bibirku yang tersenyum saat bermimi indah. Tapi, mungkinkah, sang capung ungu itu akan bercerita tentang pengalamannya tidur di atas dahan yang semakin pagi semakin basah?

Aku cemberut mengingat alas tidur sang capung yang akan basah saat fajar mulai menyapa. Terkadang aku berpikir, andaisaja aku bisa mengadopsimu sebagai saudaraku,  kau akan menggantikan posisi kak aji. 

Kali ini kupu-kupu kuning itu berdiam di salah satu mahkota bunga bougenvilku, sedangkan sang capung, dia juga berhenti menari dan menetapkan dirinya di dahan bersebelahan dengan sang kupu-kupu. Aduhai akrab sekali mereka. 

Mungkinkah mereka menatap kawanan kupu-kupu yang mulai datang dari hadapan mereka? aduh… kalau kawanan kupu datang dan si kuning di sebelah capung akan mengikuti kawanannya, siapa yang akan menemani si capung? Apa dia juga tak punya kawanan? Kasihan sekali. Aku ingin menjadi kawanannya.

Benar saja, kawanan kupu berwarna warni sudah terbang semakin dekat kea rah bunga bougenvilku. Beberapa meter dari jendela, aku melihat seorang anak kecil mengejar-kejar kawanan kupu-kupu yang tak terlalu banyak jumlahnya. Kupu-kupu yang sedang istirahat selesai sarapan di depankupun ikut terbang bersama kawanannnya. Sedangkan sang capung, dia sendiri. Terbang-terbang tak tentu. Aku heran, mengapa ia tidak mencoba terbang mencari kawanannya? Tapi sejak tadi aku merasa aneh pada capung itu, kenapa ia hanya terbang sebatas 30-50 cm? ada apa dengannya?

Oh… kemana saja mataku pagi ini? sampai-sampai tak menemukan setitik luka yang menggores sayap kirinya.

“oh… capung… ternyata kau terluka…” spontan aku bangun ingin menangkap sang capung tapi ia malah terbang. 

“hei! Aku hanya ingin mengobatimu sobat! Kembalilah!”

“hei dasar cebol gila!” suara lelaki berusia sekita 15 tahun memanggilku dari halaman luar. Sialnya, dia memanggilku cebol. Badanku memang tak sempurna, tapi aku ingin membela diri. Aku yakin aku bisa membela dan mempertahankan diri seperti capung yang luka di sayap, tapi ia masih bisa terbang.
“dasar kak aji usil! Mau apa?” tanyaku baru sadar.

“balapan yok!” ajaknya semangat. Aku memandanginya yang sudah mengenakan helm sepeda untuk menutupi kepalanya, dan jelana yang menurutku kegedean untuk kak aji. Kak aji juga sudah siap dengan sepeda gunungnya. 

“woy! Malah ngelamun… buruan ambil sepeda. Gue tungguin lo di sini! Buruan, cebol!” huh… sebel setengah hidup aku mendengar ucapan kak aji. Untuk membuktikan bahwa aku, tidak kalah ahli dengan kak aji, kuterima saja tentangannya.

Aku berlari ke belakang dan mengambil helm serta menempelkannya di kepalaku dan mulai mengeluarkan sepeda balap hadiah ulangtahun ke 10 ku dari ayah. Persiapan lengkap, aku menyusul kak aji di halaman depan dengan piama yang masih menempel.

“takut kalah enggak?” tanya kak aji sok. Aku hanya mendengus.

Kupu-kupu mungil tadi saja bisa langsung pergi melihat kawanannya yang dikejar-kejar seorang bocah kecil, dan capung itu juga menghindar saat aku mendekatinya, tapi aku tidak akan menghindar dari kak aji, karena aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi adik yang harus di hormati dengan penuh kasih sayang.

The end… 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar