UA-64251474-1

Rabu, 03 November 2010

KEGAGALANKU TEMUKANMU

KRING! KRING! KRING!
 
Tanganku meraba-raba di sekekliling meja, di samping dipanku. Mataku yang masih merem melek, menggerser tombol di punggung jam analogku. Mataku melototi jarum jam yang mengarah ke angka tujuh.

“sialan… ! Gue telat lagi!” selimut putih yang menjagaku semalaman ku lemparkan di atas kasur. Pintu di pojok kamar adalah tujuanku. Buru-buru ku cuci mukaku dan menggosok gigi. Rasanya akan
semakin telat kalau aku mandi. Langsung saja aku menyamber tas coklat selempanganku yang ada di balik pintu. Mondar-mandir, keluar-masuk kamar mencari alas sepatu kats biru kesayanganku.

“agh… ! merepotkan sekali” gumamku yang kepayahan memakai sepatu. 

Aku meraih kunci di pinggir pintu. Menguncinya untuk yang pertama kali.  

“aduh,… telat banget nih gue…! Arloji!” tanganku menjangkau tangan kiriku yang biasanya memasang rapih arlojiku. “ ya amoun,… pakek acara ketinggalan lagi” aku kembali memasuki kontrakkanku. “nah,.. tu dia!” aku berlari kea rah meja dan meraih arloji ungu di atas tumpoukan buku-bnuku kuliahku. Sedikit kelgaan telah ku rasakan. 

Aku keluar lagi dari kontarakan kecilku itu. Baru beberapa langkah aku berjalan, suara dering lagu handphoneku terdengar. Aku meraba-raba saku celanaku, tidak ada. tas, juga tidak ada. 

“agh… ketinggalan lagi!” ucapku menyesal dan lemas. Aku kemabli membuka pitu yng sudah aku kunci itu. 

Aku mencari di setiap sudut ruang berat putih yang beramtakan. Maklum aku ini mahasisiwi yang sedikit malas. Ku obrak-abrik seisi ruanganku. Menambahn nilai plus untuk ketidakrapihan ruanganku. Tapi, akhirnya aku menmkan buruanku yang bersembunyi di sebelah kiri boneka panda pemberian sahabat SMAku.  Handphoneku yang sempat mati, kini kembali berdering.

“halo! Apa rin?” dengan entengnya kau menjawab telpon temanku. Pintu coklat kontarkanku kembali ku kunci untuk yng ke sekian kalinya.

“EH NA! NGAPAIN AJA SIH LO? PAK PATRA UDAH NGAMUK-NGAMUK NIH!” suara erin, temanku benar-benar memekakkan telingaku.

“loh, kok ada pak patra? Mau ngapain dia?” tanyaku yang masih belum ingat ada apa dengan pak patra, dosen treglak, terkiller di fakultas sastra.

“elo tuh gimana, hari ini KITA PRESENTASI !” aku langung terlonjak. Kembali pada kesibukkan dan kepenatan otakku.

“dalam kesibukkan mengingat-ingat kembali tugas pak patra, dan suara erin yang benar-benar memecahkan gendang telinga,aku melihat amplop putih di balik kotak surat yang aku buat bersama sahabat SMAku itu, kini sudah berpenghuni. Aku tidak menyangka aka nada surat yang ammpir di sini setelah setahun yang lalu.

“eh, rin bentar ya!” ucapku menjangkau amplop putih yang ku maksud. Mendadak aku lupan dengan tugas yang sudah di kejar-kejar dosen. 

“redaksi majalah anak muda” kalimat itu tertera di bagian depan amplop. 

Dag dig dug aku membukanya. 

“NA ! NANA!!! ELO DENGERIN GUE ENGGAK SIH” lagi-lahi suara erin membuat telingaku hamper kehilangan gendang telinga. Tapi untunglah ada suara erin yang mengagetkanku dari lamunan kalimat yang menyesakkan dalam amplop itu.

“rin, hari ini elo presentasi sendiri ya, gue gag bisa kuliah”

‘klik’  telponnya ku tutp. Aku tertegun tak percaya sat itu. Kalimat yang aku takuti sejak SMA dulu, kini muncul lagi. Aku tidak menyangka kejadian sewaktu SMA terulang lagi di awal kuliah sastraku. Kalimat dalam kertas di depanku membawaku terbang ke mas laluku. Masa suram setahun yang lalu.

“gimana na?” sahabatku, nanda menanyaiku saat u buka maplop pertama dari redaksi sebuah majalah. 

“gagal,” kataku lemah. Baju abu-abu putih masih tampak luwes denganya sat itu. Parasku lemah, kecewa dan sedih. Usahaku untuk mengirimkan sebuah karya maih di tolak. Ini memang kali pertamanya kau mengirrimkan karyaku. Dan pastinya, kegagalan akan datang menerpa. Tapi hatiku masih belum menjadi besi.

Nanda masih menymangatiku. Aku tahu, dia menyanyangiku. Dialah yang mendoromngku untuk mengirimkan karyaku. Dia juga yang mendorongku untuk mengekploitasi baktku yang selama ini tak ku sadari.  Bahka, untuk menulis saja, nandalah yang mencadi inspirasi utamaku. Berbagai jenis tulisanku, semuanya menceritakan aku dan ananda. Dari sekian banyknya judul puisi yang selslu aku sembunyikan, 40 diantaranya ku tulis saat pertama kalinya aku betemu nanda. Dia adalah orang yang baik. Hingga aku mengis, dia rela menampung semua air mataku. Rela menyumbangkan bahunya untuk menehan airmataku jatuh. Perhatiyannya sungguh kurasakan.

“enggak usah sedih, na!” suara nanda menyenagkanku. Menengakanku. Aku dibangunkannya dari pelukkannya, ia meghapus airmatku yang masih mengalir di piipiku. Perlahan ia mnuntunku, menasehatiku, dan emnenagkanku. Aku masih emnagis sdu dengan mata kering karena dia menghapus airmtaku.

“kegagalan itu bukan akhir loh…!” katanya lagi. Tapi, aku masih menangis. Dia benar-benar sabar meladeni perempuan manja sepertiku.

“Na,” dia membantuku berdiri dari tempatku duduk. “aku rasa aku tahu kemana kamu bisa pergi saat ini”  aku tertegun. Dia mau mengajakku pergi? Pergi ke mana? Di saat aku gagal seperti ini, dia masih mampu memasung dirinya untuk diirku, pikirku dalam hati.

Nanda memboncengku di balik motor mionya. Parasnya lembut, penu kasih. Menenangkanku sepanjang perjalanna. Deru gas motornya tak begitu jelas kedengarannya.

Sebuah tempat penuh pemanangn hijau terhampar di depanku. Aku masih sedih, juga heran. Kenapa nanda membawaku ke tempat in?, pikirku. Tai, Susana tempat itu, benra-benar menerbangkan suhu kedamaian dalam hatiku.

“disinilah, aku menghaviakna air mataku”b gumamnya. “tapi itu dulu, menghabiskan air mat dan waktu di tempat ini” lanjutnya. Kebetulan ahri ini cuacanya certah. Tak sepanas biasanya, meski sekarang sudah pukul 14.00.

Aku emmandangi sekeliling. Benar saja. Tempat ini lebih indah dari pantai. Di sini, aku bsa mendengar deru mesin pesawat yang lalau lalangdengan ilalang yang bertebaran juga pemandangan indah di depanku.

Hatiku sejuk. Pemandangan empat oni telah menghapus air mataku. Aku duduk termenung di sebelah kiri nanda yang masih menopang kepalaku.

“kamu sering ke sini ya?” tanyaku yang muali reda dari tangis.

“dulu, aku ke sini hanya kau hatiku terasa gundah. Sebelum aku bertmu denganmu, tempat inilah yang menjadi tempat curhatku” aku mengangguk mengerti. Tiba-toba ia mengeluarkan handphonenya dan juga headset dan memberiku satu ari ujung headsetnya. Aku mendengarkan lagu yang diputarnya seksama. Suaranya jelas, volumenya pas. 

“ini lagu siapa?” tanyaku.

“YUI.” Jawabnya singkat. Sepertinya ia sangat menyukai lagu ini. Sampai-sampai dia menambahkan suara merdunya saat kami mendengarkannya.

“lagunya enak ya, judulnya apa?” tanyaku lagi.

“good bye days. Kamu benar,lagunya enak. Makanya aku tidak pernah meghapusnya dari handphoneku.” Tuturnya.

“tentang persahabatan bukan?” tanyaku hati-hati. Nanda megangguk. 

“dulu, aku selalu ndengerin lagu ini sendiri. Aku berharap seperti yui berharapo di lagu ini. Ini lagu tentang persahabatna.” Katanya membenrakan tanyaku. “ dan aku ingin, kamu di sini, saat kita bernyanyi brsama. Dan meski kita tidak selalu bersama” katnya lagi sambil memandangiku penih arti. Aku tahu maksudnya, dan aku opun begitu. Aku masih ingin bersamanya.

“gimana perasaanmu?” nanda memecahkan keheniangn sesaa setelah kat a terakhirnya, sambil melepaskan headset dan merapihkannya ke dalam tas ranselnya. Aku tersenyum padanya.

Sreeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttttt!!!

Pesawat melintas di depan kami.

“jujur, dulu aku ke sini untuk membuag msalahku. Semua gundah gulanaku” katanya.

“dulu? Maksudmu?” tanyaku pensaran. Nanda memandangiku da kembali memangdangi matahari yang mulai bersembunyi. 

“lihat!” katanya. Aku memandang ke depan. Melihat pesawat yang lalu lalang, untuk waktu yang berselang-seling, meninggalkan bandara juga kembali ke bandara.

“aku sadar, semua masalah yang aku buang, akn kembali suatu saat nanti. Seperti pesawt-pesawat itu”katanya. Air mataku sudah bersih.

“jadi, aku hanya ingin, nana, sahabatku, juga tidak seperti aku. Yang hanya membuang maslah, bukan menyelesaikannya”katanya penuh semangt. Aku mengerti maksudnya. 

“ya. Aku pasti akn semangat!” kataku berbinar-binar. “aku juga tidak akan lupa dengan tempat ini, nda” tambahku yang diambut senyum manis olhnya.

“kenapa nangis na?” aku buru-buru menghapus airmataku. Aku sadar, itu tadi suara nanda, sahabatku yang menyemangatiku di saat aku merasakan hal yang sama dengan hari ini. Membaca kata ‘gagal’ di amplop. Benar katanya, masalah bukan untuk dibuang, karena itu akan kembali lagi. Aku ingat itu sekarang.

“em… aku mau ke toilet dulu ya” kataku salah tingkah. Padahal aku tahu, tidak ada toilet di tempat itu. Nanda menertawakanku geli, dan memanggilku kembali duduk di sampingnya.

The end…

2 komentar:

  1. Woo, tulisanmu asli Fit?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iye lah...
      Kalo nggak ori nggak di posting di sini.
      Ini jadul, udah dari 2010. Gara2 ada komen ini, jadi baca lagi. hahaha
      Ternyata gaje dan banyak typo... :P
      Btw, thanks kunjungannya...

      Hapus