Tanganku
meraba-raba di sekekliling meja, di samping dipanku. Mataku yang masih merem
melek, menggerser tombol di punggung jam analogku. Mataku melototi jarum jam
yang mengarah ke angka tujuh.
“sialan…
! Gue telat lagi!” selimut putih yang menjagaku semalaman ku lemparkan di atas
kasur. Pintu di pojok kamar adalah tujuanku. Buru-buru ku cuci mukaku dan
menggosok gigi. Rasanya akan
semakin telat kalau aku mandi. Langsung saja aku
menyamber tas coklat selempanganku yang ada di balik pintu. Mondar-mandir,
keluar-masuk kamar mencari alas sepatu kats biru kesayanganku.
“agh… !
merepotkan sekali” gumamku yang kepayahan memakai sepatu.
Aku
meraih kunci di pinggir pintu. Menguncinya untuk yang pertama kali.
“aduh,…
telat banget nih gue…! Arloji!” tanganku menjangkau tangan kiriku yang biasanya
memasang rapih arlojiku. “ ya amoun,… pakek acara ketinggalan lagi” aku kembali
memasuki kontrakkanku. “nah,.. tu dia!” aku berlari kea rah meja dan meraih
arloji ungu di atas tumpoukan buku-bnuku kuliahku. Sedikit kelgaan telah ku
rasakan.
Aku
keluar lagi dari kontarakan kecilku itu. Baru beberapa langkah aku berjalan,
suara dering lagu handphoneku terdengar. Aku meraba-raba saku celanaku, tidak
ada. tas, juga tidak ada.
“agh…
ketinggalan lagi!” ucapku menyesal dan lemas. Aku kemabli membuka pitu yng
sudah aku kunci itu.
Aku
mencari di setiap sudut ruang berat putih yang beramtakan. Maklum aku ini
mahasisiwi yang sedikit malas. Ku obrak-abrik seisi ruanganku. Menambahn nilai
plus untuk ketidakrapihan ruanganku. Tapi, akhirnya aku menmkan buruanku yang
bersembunyi di sebelah kiri boneka panda pemberian sahabat SMAku.
Handphoneku yang sempat mati, kini kembali berdering.
“halo!
Apa rin?” dengan entengnya kau menjawab telpon temanku. Pintu coklat
kontarkanku kembali ku kunci untuk yng ke sekian kalinya.
“EH NA!
NGAPAIN AJA SIH LO? PAK PATRA UDAH NGAMUK-NGAMUK NIH!” suara erin, temanku
benar-benar memekakkan telingaku.
“loh,
kok ada pak patra? Mau ngapain dia?” tanyaku yang masih belum ingat ada apa
dengan pak patra, dosen treglak, terkiller di fakultas sastra.
“elo
tuh gimana, hari ini KITA PRESENTASI !” aku langung terlonjak. Kembali pada
kesibukkan dan kepenatan otakku.
“dalam
kesibukkan mengingat-ingat kembali tugas pak patra, dan suara erin yang
benar-benar memecahkan gendang telinga,aku melihat amplop putih di balik kotak
surat yang aku buat bersama sahabat SMAku itu, kini sudah berpenghuni. Aku
tidak menyangka aka nada surat yang ammpir di sini setelah setahun yang lalu.
“eh,
rin bentar ya!” ucapku menjangkau amplop putih yang ku maksud. Mendadak aku
lupan dengan tugas yang sudah di kejar-kejar dosen.
“redaksi
majalah anak muda” kalimat itu tertera di bagian depan amplop.
Dag dig
dug aku membukanya.
“NA !
NANA!!! ELO DENGERIN GUE ENGGAK SIH” lagi-lahi suara erin membuat telingaku
hamper kehilangan gendang telinga. Tapi untunglah ada suara erin yang
mengagetkanku dari lamunan kalimat yang menyesakkan dalam amplop itu.
“rin, hari ini elo presentasi sendiri ya, gue gag bisa kuliah”
‘klik’
telponnya ku tutp. Aku tertegun tak percaya sat itu. Kalimat yang aku
takuti sejak SMA dulu, kini muncul lagi. Aku tidak menyangka kejadian sewaktu
SMA terulang lagi di awal kuliah sastraku. Kalimat dalam kertas di depanku
membawaku terbang ke mas laluku. Masa suram setahun yang lalu.
“gimana
na?” sahabatku, nanda menanyaiku saat u buka maplop pertama dari redaksi sebuah
majalah.
“gagal,”
kataku lemah. Baju abu-abu putih masih tampak luwes denganya sat itu. Parasku
lemah, kecewa dan sedih. Usahaku untuk mengirimkan sebuah karya maih di tolak.
Ini memang kali pertamanya kau mengirrimkan karyaku. Dan pastinya, kegagalan
akan datang menerpa. Tapi hatiku masih belum menjadi besi.
Nanda
masih menymangatiku. Aku tahu, dia menyanyangiku. Dialah yang mendoromngku
untuk mengirimkan karyaku. Dia juga yang mendorongku untuk mengekploitasi
baktku yang selama ini tak ku sadari. Bahka, untuk menulis saja, nandalah
yang mencadi inspirasi utamaku. Berbagai jenis tulisanku, semuanya menceritakan
aku dan ananda. Dari sekian banyknya judul puisi yang selslu aku sembunyikan,
40 diantaranya ku tulis saat pertama kalinya aku betemu nanda. Dia adalah orang
yang baik. Hingga aku mengis, dia rela menampung semua air mataku. Rela
menyumbangkan bahunya untuk menehan airmataku jatuh. Perhatiyannya sungguh
kurasakan.
“enggak
usah sedih, na!” suara nanda menyenagkanku. Menengakanku. Aku dibangunkannya
dari pelukkannya, ia meghapus airmatku yang masih mengalir di piipiku. Perlahan
ia mnuntunku, menasehatiku, dan emnenagkanku. Aku masih emnagis sdu dengan mata
kering karena dia menghapus airmtaku.
“kegagalan
itu bukan akhir loh…!” katanya lagi. Tapi, aku masih menangis. Dia benar-benar
sabar meladeni perempuan manja sepertiku.
“Na,”
dia membantuku berdiri dari tempatku duduk. “aku rasa aku tahu kemana kamu bisa
pergi saat ini” aku tertegun. Dia mau mengajakku pergi? Pergi ke mana? Di
saat aku gagal seperti ini, dia masih mampu memasung dirinya untuk diirku,
pikirku dalam hati.
Nanda
memboncengku di balik motor mionya. Parasnya lembut, penu kasih. Menenangkanku
sepanjang perjalanna. Deru gas motornya tak begitu jelas kedengarannya.
Sebuah
tempat penuh pemanangn hijau terhampar di depanku. Aku masih sedih, juga heran.
Kenapa nanda membawaku ke tempat in?, pikirku. Tai, Susana tempat itu,
benra-benar menerbangkan suhu kedamaian dalam hatiku.
“disinilah,
aku menghaviakna air mataku”b gumamnya. “tapi itu dulu, menghabiskan air mat
dan waktu di tempat ini” lanjutnya. Kebetulan ahri ini cuacanya certah. Tak
sepanas biasanya, meski sekarang sudah pukul 14.00.
Aku
emmandangi sekeliling. Benar saja. Tempat ini lebih indah dari pantai. Di sini,
aku bsa mendengar deru mesin pesawat yang lalau lalangdengan ilalang yang
bertebaran juga pemandangan indah di depanku.
Hatiku
sejuk. Pemandangan empat oni telah menghapus air mataku. Aku duduk termenung di
sebelah kiri nanda yang masih menopang kepalaku.
“kamu
sering ke sini ya?” tanyaku yang muali reda dari tangis.
“dulu,
aku ke sini hanya kau hatiku terasa gundah. Sebelum aku bertmu denganmu, tempat
inilah yang menjadi tempat curhatku” aku mengangguk mengerti. Tiba-toba ia
mengeluarkan handphonenya dan juga headset dan memberiku satu ari ujung
headsetnya. Aku mendengarkan lagu yang diputarnya seksama. Suaranya jelas,
volumenya pas.
“ini
lagu siapa?” tanyaku.
“YUI.”
Jawabnya singkat. Sepertinya ia sangat menyukai lagu ini. Sampai-sampai dia
menambahkan suara merdunya saat kami mendengarkannya.
“lagunya
enak ya, judulnya apa?” tanyaku lagi.
“good
bye days. Kamu benar,lagunya enak. Makanya aku tidak pernah meghapusnya dari handphoneku.”
Tuturnya.
“tentang
persahabatan bukan?” tanyaku hati-hati. Nanda megangguk.
“dulu,
aku selalu ndengerin lagu ini sendiri. Aku berharap seperti yui berharapo di
lagu ini. Ini lagu tentang persahabatna.” Katanya membenrakan tanyaku. “ dan
aku ingin, kamu di sini, saat kita bernyanyi brsama. Dan meski kita tidak
selalu bersama” katnya lagi sambil memandangiku penih arti. Aku tahu maksudnya,
dan aku opun begitu. Aku masih ingin bersamanya.
“gimana
perasaanmu?” nanda memecahkan keheniangn sesaa setelah kat a terakhirnya, sambil
melepaskan headset dan merapihkannya ke dalam tas ranselnya. Aku tersenyum
padanya.
Sreeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttttt!!!
Pesawat
melintas di depan kami.
“jujur,
dulu aku ke sini untuk membuag msalahku. Semua gundah gulanaku” katanya.
“dulu?
Maksudmu?” tanyaku pensaran. Nanda memandangiku da kembali memangdangi matahari
yang mulai bersembunyi.
“lihat!”
katanya. Aku memandang ke depan. Melihat pesawat yang lalu lalang, untuk waktu
yang berselang-seling, meninggalkan bandara juga kembali ke bandara.
“aku
sadar, semua masalah yang aku buang, akn kembali suatu saat nanti. Seperti
pesawt-pesawat itu”katanya. Air mataku sudah bersih.
“jadi,
aku hanya ingin, nana, sahabatku, juga tidak seperti aku. Yang hanya membuang
maslah, bukan menyelesaikannya”katanya penuh semangt. Aku mengerti maksudnya.
“ya.
Aku pasti akn semangat!” kataku berbinar-binar. “aku juga tidak akan lupa
dengan tempat ini, nda” tambahku yang diambut senyum manis olhnya.
“kenapa nangis
na?” aku buru-buru menghapus airmataku. Aku sadar, itu tadi suara nanda,
sahabatku yang menyemangatiku di saat aku merasakan hal yang sama dengan hari
ini. Membaca kata ‘gagal’ di amplop. Benar katanya, masalah bukan untuk dibuang,
karena itu akan kembali lagi. Aku ingat itu sekarang.
“em…
aku mau ke toilet dulu ya” kataku salah tingkah. Padahal aku tahu, tidak ada
toilet di tempat itu. Nanda menertawakanku geli, dan memanggilku kembali duduk
di sampingnya.
The
end…
Woo, tulisanmu asli Fit?
BalasHapusIye lah...
HapusKalo nggak ori nggak di posting di sini.
Ini jadul, udah dari 2010. Gara2 ada komen ini, jadi baca lagi. hahaha
Ternyata gaje dan banyak typo... :P
Btw, thanks kunjungannya...