UA-64251474-1

Sabtu, 02 Oktober 2010

KAU KEMBALI UNTUK SELAMANYA


Suara kicau burung mulai membangunkanku di hari minggu cerah ini. Terlihat sirat kuning dari ufuk timur mulai mewarnai langit. Aku keluar untuk mengambil Koran. Koran harian langganan keluargaku sudah menunggu di depan. Ku buka pintu rumahku dan ku tarik koran yang terkapar dilantai. Ayahku telah menunggu sang Koran di ruang tengah. Segera ku langkahkan kakiku kesana.
“ dek…tunggu..!” suara dari balik pagar  itu sangat mengagetkanku. Ku tengok ke belakang. Itu  pak post. Aku senang sekali melihatnya. Kakak ku berjanji untuk mengirimiku surat selama ia ada di singapura.
“ ya…! Ada surat untuk saya pak?”  Tanya ku tak sabar untuk melihat surat dari kak dika. Kak dika sudah meninggalkanku ke negeri seberang selama 3 tahun. Dia memang bukan kakak kandungku, tapi adalah tetanggaku sekaligus kakak kelasku disekolah.
Kak dika lebih tua 2 tahun dariku, dan setahuku aku sudah bersamanya sejak aku kecil. Makanya, aku mengenal baik kakak ku itu, dan kami memang terlihat layaknya kakak adik yang sungguhan. Kak dika adalah anak pertama dan satu satunya. Begitu juga denganku. Sebenarnya kak dika pernah mempunyai adik dan katanya sih…seumuran denganku. Tapi saat mereka dalam perjalanan ke Palembang, pesawat mereka mengalami hal yang mengerikan. Kak dika dan ibunya berhasil selamat saat itu. Yah… itulah yang aku tau tentang adiknya.
Dari tadi aku hanya membolak balik memoriku mengingat kak dika. Sampai lupa dengan pak post di depanku ini. Tapi pak pos sedang sibuk mencari cari kertas special dari kak dika.
“nah… ini dia, untuk adek abel” pak pos menyebutkan nama yang tertera di amplop itu unutk memastikan. Lansung saja kuraih amplopnya. Aku tak sabar untuk membacanya. Sampai lupa mengucapkan terimakasih pada bapak berjasa ini.
“em..dek…!” pak post kembali memanggilku.
“ada apa ya pak?” tanyaku saat ia sibuk mencari cari lembaran kertas lainya. Apakah kak dika mengirimiku sesuatu lagi?, pikirku. Oh…ternyata surat tanda terima yang lupa diberikan pak pos padaku. Mungkin karena melihatku yang sangat senang berkat jasanya itu.
Kurangkaikan nama abel di pojok kanan bawah kertas itu. Kali ini aku tak mungkin lupa mengucapkan terimakasih untuk yang kedua kalinya. Pak pos meninggalkan halaman rumahku. Lagi lagi aku lupa. Aku lupa dengan koran yang sudah ditunggu ayah di ruang tengah masih ada di tangan kiriku. Aku berlari kedalam dengan Koran ditangan kiri dan amplop spesial dari kak dika di tangan kananku.
“ ayah…! Korannya di meja tengah!” aku berteriak kepada ayahku yang sedang pergi entah kemana. Aku sudah tak sabar untuk membaca surat itu, karena sudah lama kak dika tak mengirimiku surat. Aku menaiki tangga menuju kamarku dengan langkah lihai.
Ruangan berpintu cokklat diujung ruangan itu adalah kamarku. Kumasuki gudang ceritaku itu. Aku tak mau ada yang menggangguku selama aku bertemu dengan kak dika di suratnya. Ku raih kunci yang bertengger di pintu dan memutarnya sekali untuk menguncinya. Dipan berseprei biru sudah menantiku. Ku hempaskan tubuhku yang memegang erat surat kak dika. Kamarku lah yang akan menjadi saksi perjumpaan ku dengan kakak ku tercinta di surat ini.
‘ untuk adikku abel’.
Abel apa kabar? Masih kangen sama kakak kan ?’
Aku menggerutu senang  dalam hati.
“ harusnya aku yang mengkhawatirkan kakak” gerutuku sendiri pada kertas di depanku itu, dan melanjutkan  membaca.
‘gimana kabar ayah sama mama abel ? semoga mereka baik baik juga ya…!!!’
Mataku tertuju pada kalimt selajutnya.
‘ abel, kakak punya kabar bagus nih…! Kata dokter, keadaan kakak mulai membaik’
“syukurlah…! Aku senang mendengarnya kak…!” aku tersenyum bahagia.
Kak dika, dia pergi ke singapura memang untuk berobat. Dia memang pernah mengatakan padaku bahwa ia sedang sakit, tapi entah sakit apa ia selalu menyembunyikannya rapat-rapat. Tapi aku tahu, kalau penyakitnya ini bukan penyakit biasa, buktinya ia sampai berobat sejauh ini.
‘kakak udah kangen…banget sama adik kakak’
“abel apalagi…abel pengen cepet-cepet ketemu kakak lagi” aku menjawab setiap kalimat dari surat itu layaknya sedang menelpon.
‘ abel masih ingat gag, waktu kita nerbangi layang layang bareng di lapangan?’
Ternyata kak dika masih ingat hari itu, hari-hari yang kulalui bersama kak dika sebelum ia pergi.
“semuanya masih abel simpen baik-baik kok kak…! Menunggu sampek kakak pulang”.
‘oh ya… insyaallah, kakak sama bunda mau pulang minggu depan’
“ye….!!!!!! Hu hui……!!!!!! Kak dika mau pulang….Kak dika pulang…!!!!” Aku belum membaca isi surat itu penuh tapi aku sudah kegirangan. ‘pulang’ kata yang aku nantikan dari setiap surat kak dika. Yah…meskipun hanya melalui surat, tapi cukup untuk menjanjikan kepulangan J.
‘abel jangan lupa ya…kalau kakak pulang nanti, kakak mau liat layang layang yang biasa kita terbangin bareng 3 tahun yang lalu ya…abel masih menyimpannya kan?’
“kak dika jangan khawatir,…semua itu masih ada di dinding kamar abel.” Kataku sambil melirik dinding kamarku.
‘ ya udah…sekian dulu ya surat kakak, maaf nih…kemarin2 kakak gag sempet kirimin abel surat atau email. Oya…sampein salam kakak sama bunda ke ayah sama mama abel ya..! kakak sayang sama abel!’
“ abel juga sayang sama kakak”. Aku yang girang akan kepulangan kakak tercinta langsung memberitahu mama dan ayah. Mereka pun bergembira layaknya aku. Aku sangat menanti kepulangan kak dika. Dulu, kak dika pernah bilang mau pulang, tapi ditunda karena belum diijinkan oleh dokter.
 “Semoga, kali ini kakak beneran pulang, abel ngarep banget kakak pulang, abel juga kangen kak, waktu kita nerbangin layang layang bareng 3 tahun yang lalu.”Aku berkata pada foto kak dika yang nyengir bersamaku. Tidak lupa layang – layang hitam miliknya dan yang biru milikku terpenjara di tangan kami. Rambut kak dika waktu itu, aku masih ingat sekali bagaimana ia menyibakkan rambutnya yang memang terlihat gondrong. Aku juga ingat bagaimana kak dika mengelus-elus rambutku yang menjangkau bahu walau ku ikat satu.
Dua hari sebelum kepulangan kak dika, aku menyiapkan segala yang dikatakan kak dika dalam suratnya. Dinding biru kamarku masih memajang dua layang layang kesayanganku dan kak dika yang amat aku jaga. Seisi kamarku penuh dengan apa yang pernah kulalaui bersama kaka dika. Foto foto masa kecil kami, dan beberapa foto masa SMP ku bersama kak dika, beberapa saat sebelum kak dika meninggalkanku dalam waktu 3 tahun ini, bersemayam di setiap meja dikamarku. Mulai meja rias sampai meja belajarku.
Foto terakhirku dengan kak dika, menempel sebesar 10 R didepan ranjangku. Aku ingin kak dika selalu ada di kamar ini. Aku ingin kak dika selalu menemani hari-hariku. Jadi, inilah jalan satu satunya, yaitu dengan memampang wajah kami berdua besar-besar di hadapanku, dan aku pun bisa melihatnya sebelum aku terbawa oleh mimpi indah tentang kak dika dan aku.
***
Aku lihat kalender yang bertengger di meja samping ranjangku. Ternyata hari ini tanggal merah. “Sabtu yang menyenangkan.” Gumamku ketika ku bergegas keluar kamar. Seperti biasa, setiap hari libur, aku selalu menyatroni Koran yang sudah terbaring di teras depan rumahku.
Pagi ini, cuacanya sangat cerah. Gumpalan awan terlihat indah dengan cahaya kuning yang menghiasinya. Sesampainya aku di ruang depan, aku tak langsung menyamber koran yang tergeletak dibawah. Mataku tertuju pada orang yang berdiri di hadapanku saat itu. Seorang wanita paruh baya dengan anaknya yang kira-kira berusia 18 tahunan itu berdiri dan tersenyum padaku. Aku hampir tak mengenali lelaki itu. Terakhir kali aku melihatnya, rambutnya di jigrak-jigrakkan. Yah…dia lebih suka gaya rambut ala rocker dan tak suka memakai topi. Tapi, kali ini, aku melihat pemandangan lain dari orang yang meninggalkanku 3 tahun yang lalu. Kini, aku melihatnya memaki topi hitam pemberianku sebelum ia pergi yang dulu pernah ia tolak.
Ku pandangi terus wajah yang berbeda dari 3 tahun yang lalu itu. Aku kurang yakin dengan keadaannya saat itu. Aku sedikit khawatir melihatnya. Tapi, ia berhasil menghapus kehawatiranku itu dengan senyum lebarnya yang tak pernah berubah. Kali ini, aku tak ragu lagi untuk memeluknya.
“kak dika…!!!” aku langsung menagkap tubuhnya yang jakung. Kak dika tersenyum padaku dan memelukku erat. Masih sama seperti yang dulu, dia tak pernah lupa untuk mengacak-acak rambutku setiap kali ku memeluknya.
“abel pasti enggak nyangka kakak dateng sekarang!” katanya benar. Aku memang tak menyangka sekali kalau hari inilah aku akan menyambut kak dika. Harusnya besok  dia baru ada di sini. Tapi kurasa, lebih cepat kak dika pulang, itu lebih baik J.
Aku amat senang bertemu dengan kak dika. Aku langsung menyeretnya masuk bersama tante widia yang akarab ku panggil bunda. Mama yang sudah tau kedatangan kak dika dan bunda, langsung menyambutnya gembira. Sayang, hari ini ayah tidak libur.
Sementara bunda dan mama sudah asyik bicara, aku dan kak dika langsung menuju gudang kenangan kami, yaitu kamarku.
“ mana pesanan kakak? Masih disimpen enggak?” kak dika menanyaiku sebelum kami memasuki kamarku.
“jelas masih ada dong..!!!abel selalu menyimpanya baik-baik kak…hehehe” wajahku sangat ceria. Kak dika pun tak mau kalah ceria denganku, meski aku tau dia sedang menahan hal yang sangat menakutkan bagi hidupnya.
“ coba… kakak mau liat…!!!” kak dika menjangkau pintu kamarku lebih dulu, dan tersenyum-senyum melihat ruangan yang tak pernah kurubah sedikit pun dari 3 tahun yang lalu.
“ gimana? Udah percaya kan?” kataku yang tak pernah lupa untuk menghiasi setiap ucapanku dengan senyum semanis-manisnya. Kak dika memandangiku, dan kembali pada dinding yang menampilkan layangan kami. Kak dika langsung manariknya dan berlari menarikku keluar. Aku hanya mengikuti tarikannya.
Rupanya kak dika masih ingat jalan menuju lapangan dengan baik. Lapangan olahraga yang menjadi tempat favorit kami untuk menerbangkan layang layang, masih sama seperti yang dulu. Pohon-pohon masih menghijau di samping lapangan.
“ ini punya abel” kak dika memberiku yang biru.
“dan ini punya kakak” bibirku tersimpul menyambut pemberian kakakku itu.
Kami bermain layaknya masih lkecil. Entah ia yang bahagia atau hanya untuk membahagiakanku, aku juga tak tau. Tapi selama bersamaku, kak dika tak pernah menunjukkan wajahnya yang sakit sama sekali. Aku yang memang sangat senang, tidak pernah bisa menyembunyikan gigi-gigi ku. Hingga sang surya tepat diatas kami, kami  istirahat sejenak di bawah pohon yang dulu juga pernah kami tempati untuk istirahat.
Selama istirahat, aku menceritakan segala hal yang terjadi selama ia pergi. Hal-hal yang sangat ingin aku tumpahkan pada kak dika, benar-benar tercurah saat itu. Hingga kak dika yang ambil bicara.
“abel, kakak benar-benar senang bisa ketemu abel lagi” wajanya masih tidak menyembunyikan keceriaan. Aku tersenyum saat itu. Aku gembira, benar-benar gembira.
“ tapi…kakak punya satu permintaan sama abel” kak dika memandangiku penuh arti.
“apa?” tanyaku manja.
“nanti…seandainya kak dika enggak bisa balik untuk nemuin abel lagi,…” kalimat kak dika terputus. Aku memandanginya sedih. Aku tak ingin itu terjadi.
“ atau kalau suatu saat nanti abel enggak bisa liat kakak lagi…” tak kusadari air mataku telah membanjiri pipiku. Aku tak pernah ingin hal itu terjadi. Samapi-sampai, aku tak bisa berkata-kata lagi.
“abel jangan nangis, kakak akan selalu nemenin abel dimanapun kakak berada.” Kak dika menghela napasnya.
“ kakak akan selalu ingat gimana rasa senangnya kakak ada di samping adik kesayangan kakak ini” ia mencoba tersenyum untuk menghiburku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menagis, dan memegangi tangan kanan kak dika yang terasa dingin.
Napas kak dika terdengar semakin cepat, cepat dan cepat. Tapi ia tetap mencoba untuk menangkanku. Hinga air mataku reda, kak dika baru mengajakku pulang. Ia membantuku berdiri, padahal ia sendiri pun sulit untuk menegapkan badannya seperti yang dulu.
“setelah ini, kak dika enggak langsung balik ke singapur lagi kan?” aku bertanya dengan nada yang masih terdengar sedu. Aku ingin menghabiskan waktu lebih panjang bersama kak dika.
“kakak masih mau menghabiskan waktu di sini” aku lega mendengarnya.
Siang yang indah bahkan terindah yang tak pernah ku lupakan, telah terlewati bersama kak dika sepenuhnya. Aku benar-benar mengenang apa pun yang pernah kami lakukan bersama. Yah…hari ini cukup untuk mengganti 3 tahun yang berlalu.
Jam Sembilan malam, setelah makan malam bersama keluargaku, kak dika dan bunda berpamitan pulang. Sebenarnya aku ingin kak dika dan bunda untuk menginap saja, tapi kak dika menolak. Aku tak mau memaksanya karena ia juga tak pernah memaksaku.
“hati-hati di jalan ya kak..bun…” aku dan kedua orangtua ku melambaikan tangan. Kak dika dan bunda membalasnya dan tersenyum pada kami semua dari balik kaca taksi biru itu.
***
Keeokkan paginya, di udara masih dingin, dan cuacanya yang tak indah, ayah dan mama membawaku ke rumah sakit. Mereka tak memberi tahuku apapun. Aku hanya disuruh menurut saja, dan aku mengikutinya. Aku dan dua layang layang yang di pesani oleh ayah ku untuk membawanya, berjalan dengan langkah gontai. Layang layang yang baru kemarin aku terbangkan bersama kak dika, berkibat-kibut tertiup udara pagi.
Aku melihat bunda dari kejauhan. Cuaca hari ini memberiku firasat yang tak bagus.
“abel…” bunda memanggilku lemas. Matanya terlihat lembam. Aku hanya tertegun, firasat buruk tentang kak dika merambah ke otakku. Langsung ku tengok kedalam. Aku lihat dadanya yang naik turun dari depan pintu. Ku langkahkan kakiku seakan tak percaya. Orang yang selalu melindungiku selama ini, orang yang selalu menyemangatiku selama ini, terbaring lemah disana. Berbagai peralatan rumah sakit melengkapi tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menahan air mata yang sudah di pelupuk sejak masuk tadi. Aku lemas….rasanya aku kehilangan semua tulangku.
“ abel….” Terdengar suara lembut yang tak berdaya dari balik corong yang menutupi hidung dan mulut kak dika. Aku mendekatinya sambil menangis. Layang-layang yang kemarin menjadi saksi kegembiraan kami, kini juga menjadi saksi tangisanku di depan kak dika.
“ kak dika….” Aku yang berlumuran air mata langsung meraih tangan dingin kak dika. Aku menggenggam tanganya yang mulai terasa dingin. Aku tak anggup meluncurkan satu kata pun. Ku lihat matanya menatapku. Tak kusangka, aku menangkap matanya yang meneteskan air mata. Matanya menuju ke laying-layang yang kubawa.
“ ini…” aku tak sanggup bicara. Tapi terus kucoba untuk terakhir kalinya menatap mata berair itu.
“ ini…layang layang yang kita terbangkan 3 tahun yang lalu…” aku berhenti. “ dan yang kita terbangkan kemarin kak…” aku melanjutkannya dengan gugup. Sulit untuk membuat mulut ini berbicara, apalagi dengan melihat mata yang memantulkan kesakitan di depanku ini. Tapi,…meski terbata bata…akhirnya aku barhasil lengakapi kalimat ku tadi.
Kak dika menatapku dari tadi. Aku dan dia tau, kemarin adalah hari terakhir untuk menerbangkan laying-layang bersama. Dia meraih layang layang di tanganku dan meggenggamnya bersama.
“ a-bel ja-ngan na-ngis…!!!” suaranya parau dan sedikit terbata bata menambah deras air mataku.
“ ka-kak …eng-gak ... bi-sa…pergi ... la-gi …! Ka-kak  ba-kal di si-ni sela-manya….!” Aku lihat semakin banyak air mata di pipi kak dika, beriringan dengan napasnya yang keluar menjadi satu.
“mung-kin … a-bel … eng-gak … bi-sa … li-at… ka-kak… la-gi…!” lagi lagi napas itu terbuang keras. “ tapi…ka-kak … kan… te-rus… ja-ga… a-bel…” dia berhenti. Aku cemas. Kak dika menarik napas panjang.
“ kak di-ka… ni-tip bun-da ya….!!!” Kak dika agak memaksa tersenyum disela-sela tangisnya.
“dan…ja-ngan lu-pa… ja-ga la-yang…- la- yang-nya…, mes-ki eng-gak bi-sa ki-ta ter-bangin ba-reng - ba-reng la-gi…” ia masih berjuang untuk melanjutkan kalimatnya. Tangisku semakin menjadi jadi.
“ ka-kak sa-yang sa-ma a-bel..!!!!” seketika aku tertegun mendengarnya. Kata kata yang ia gunakan untuk menutup suratnya minggu lalu, juga ia gunakan untuk menutup matanya hari ini. Aku histeris…!
“ kak dika...!!!!!!!” kata itu ku teriakkan berkali kali, hingga ayah, mama dan bunda masuk bersama dokter  dan menenangkanku. Aku tetap menangis dan memanggil nama kak dika berkali-kali. Bunda juga menangisi putranya, dan orangtuaku masih berusaha menenangkanku.
Sangat sulit ku terima, tapi..inilah takdir. Aku ingin kak dika terbang dengan damai bersama laying-layang yang kan terus ku terbangkan meski tanpa kak dika. Dan aku yakin kak dika akan tersenyum  melihatku menarik benang laying-layangnya.

###

2 komentar:

  1. hhmmmm.....
    perpisahan bermula dari pertemuan.
    perpisahan seringkali disertai kesedihan.
    apalagi dengan orang2 yang disayang.
    tp semua itu takdir Tuhan yang tidak bisa kita lawan..

    ^_^

    BalasHapus
  2. yah...begitulah memang hidup
    ^^
    makasih untuk komentnya

    BalasHapus