Selasa, 26 November 2013

BADUT AMNESIA

Entah bagaimana aku jadi senang memandangi jingga yang mulai menghilang. Padahal, sejatinya hatiku kesepian walaupun malam tak ubahnya siang yang ditemani matahari. Saat jingga datang, semua orang gembira. Parade harian ini akan selalu menyenangkan. Mendengar suara-suara gembira para penonton yang habis begitu malam menyentuh batasnya. Tiada habis, karena malam jarang terburu-buru untuk pulang.



Kesibukan macam inilah yang membuatku tidak bisa lagi menikmati jingga saat senja berpamitan. Yang juga membuatku tidak bisa lagi menertawakan parade harian yang menurutku sangat konyol. Orang-orang itu, dengan tinggi badan yang dimanipulasi, dan rias wajah yang sangat berlebihan, yah… maklumlah, profesi mereka badut, tapi bagiku itu tidak begitu menarik. Mereka tidak lucu dan entah apa yang selalu kutertawakan selama ini.

Aku tertawa sesuka hatiku. Senja pun tidak pernah marah saat ku tertawakan jingganya yang kadang terlalu mencolok di mata. Tapi kali ini aku mengerucutkan bibirku, kecewa. Huh, aku tidak bisa tertawa lagi. Bahkan saat jingga di langit senja ini benar-benar mengganggu mataku. Aku tidak bisa menertawakan diriku sendiri.

Hei, apa yang terjadi padaku? Itulah pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab oleh ingatanku yang hilang seminggu yang lalu. Sementara ini aku hanya ingat bahwa aku senang tertawa dan aku menyukai jingga. Mungkin hal itu adalah hal baru yang kutemukan seminggu ini, aku pun tidak yakin.

“Ber? Sudah siap?” tanya komandan sirkus harian itu sambil menyibakkan tirai penutup kamar riasku.

Perutnya buncit dan besar. Tidak sebanding dengan kepalanya yang hanya sebesar batok kelapa. Wajahnya menyeramkan sekaligus menyedihkan. Kulit wajahnya dicat putih dan bibirnya mengenakan lipstick sembarangan. Penampilannya benar-benar parah untuk ukuran ketua kelompok sirkus ini. Oh ya, aku lupa, inikan memang sirkus. Ya, memang begitulah seharusnya aku mendandani diriku sendiri.

“Astaga… kau bahkan belum membersihkan mukamu,” katanya. Aku hanya menoleh ke arahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga senyum atau ekspresi apa pun.

Pria paruh baya itu lalu membersihkan mukaku dan memupuknya dengan serbuk putih yang membuatku ingin bersin. Dia juga menambahkan pewarna di bibirku hingga bagian bawahnya hampir menyentuh dagu. Mesikipun aku lupa seperti apa penampilanku sewajarnya, tapi aku masih sadar untuk malu dengan dandanan seperti itu.

“Nah, Nak, kau terlihat sempurna. Orang-orang pasti akan menyukai penampilanmu,” katanya, menghiburku yang cemberut. Kupikir, bagian mana yang akan disukai orang-orang itu? Sempurna? Oh tuhan, dia bercanda.

Hari ini parade pertamaku. Aku harus bagaimana? Aku bahkan tidak dilatih sama sekali. Bahkan aku tak tahu apa yang harus kulakukan sampai parade itu dimulai. Seutas anyaman tali yang panjangnya sekitar 1 meter diberikan padaku. Di bagian pegangannya lebih tebal dan ada manik-manik berwarna merah di sana. Sedikit, tapi cukup membuat kulit tanganku gatal.

Aku ditunjukkan alat bermainku. Hey, apa-apaan mereka? Aku harus bersahabat dengan gajah yang baru kali ini kutemui? Yang benar saja? Aku tidak bisa bicara bahasa hewan. Harusnya mereka memberiku les private bahasa gajah setidaknya.

***

Aku tak mau berkata apa-apa. Pria yang mengantarku kali ini tampak tidak ramah. Dia mengatakan segala hal dengan sengit. Matanya tajam dan sipit. Lalu bagian alisnya akan berkerut setiap kali dia bicara denganku. Aku berani bertaruh, dia pasti mendapat peran antagonis di parade ini.

Tidak salah lagi. Dugaanku memang selalu benar. Dia si pembawa api. Pertunjukkannya selalu ditunggu-tunggu oleh penonton. Aku juga ikut menontonnya di sudut belakang panggung.

***

Aku harus berusaha bersahabat dengan gajah yang tingginya hampir 3 kali lipat tinggi badanku. Namanya Kishi. Lebih bagus dari namaku kupikir. Dia berumur 4 tahun dan sangat menyukai daun kelapa. Dia merentangkan belalainya setelah meraih makanan yang kulemparkan. Dia berjalan dengan sangat pelan dan aku agak takut berjalan di sampingnya. Takut kalau tiba-tiba dia terpeleset dan menimpaku. Tapi beberapa jam bersamanya, hal itu tidak terjadi. Hei, aku tidak sedang bicara dengannya. Aku tahu informasi tentangnya dari komandan sirkus.

Kishi dan aku memperhatikan atraksi yang sedang berlangsung sambil menunggu giliran kami tampil. Kuharap aku tidak gugup dan tidak mencelakakan Kishi. Tugasku sebenarnya sangat gampang, hanya memberi arahan pada Kishi untuk menyemburkan air. Tapi agak ragu mengingat aku bahkan belum terbiasa dengan kehadiran Kishi di sampingku.

“Sebentar lagi giliran kita. Kau siap?” tanyaku pada gajah di sampingku. Aku tidak menunggu jawaban darinya karena aku tahu gajah itu tidak akan menjawab.

Aku mengelus belalai Kishi yang terulur ke depanku, masih memperhatikan pertunjukkan. Kulitnya kasar dan aku bisa merasakan pori-porinya yang besar.

Badanku bergetar dan aku jadi semakin sering menoleh ke arah Kishi, berharap gajah itu menenangkanku. Pertunjukkan Giri, si pembawa api sebentar lagi hanya akan menjadi latar permainan dan aku juga Kishi yang akan menggantikannya di panggung utama.

Kishi menyemburkan air ke arah penonton dan melolong riang saat aku dan dia memasuki panggung. Keriuhan penonton menyambut kami. Mereka tidak marah karena basah. Mereka bergembira melihat Kishi yang melompat ke sana kemari. Dia memainkan bola dengan belalainya dan sesekali menyemburkan air yang sudah disediakan.

Entah bagaimana aku merasa biasa dengan suasana ini. Tanpa sadar aku tersenyum melihat meriahnya penonton dari panggung. Hal yang tidak kulakukan seminggu ini. Tersenyum lebar rasanya seperti sebuah kenangan yang hilang. Tapi aku tak peduli, atau mungkin belum ingin peduli.

Aku menoleh, memperhatikan Kishi yang ternyata lebih lincah dari dugaanku. Giri juga sedikit tersenyum ke penonton. Apinya menggulung ke atas, membentuk lingkaran-lingkaran api yang hilang 1 menit kemudian.
Panggung bertambah ramai ketika paman pengendaran sepeda roda satu bergabung. Atraksinya menegangkan. Dia akan melewati tali setebal 2 cm di ketinggian 8 meter di atas kami. Sementara kami beratraksi, paman itu bersiap-siap. Dia menghela napas. Aku bisa tahu, dadanya naik turun, berusaha menenangkan ritme jantungnya.

Paman itu menoleh ke arah penonton sambil melambaikan tangan. Bibirnya menyunggingkan senyum walau sebenarnya dia sedang gemetaran. Sekali lagi, paman itu menarik napas dalam, sebelum mulai merentangkan tangan dan memberanikan diri, mengayuh sepeda roda satunya di atas tali 2 cm.

Penonton bertepuk tangan, dan aku pun melakukannya dengan reflek. Giri tetap melakukan atraksinya. Kishi pun begitu. Tapi aku dan peranku? Seharusnya aku memandu Kishi untuk bermain di sisi kanan panggung, sementara Giri di pusat panggung. Tapi Kishi terlanjur dekat dengan Giri. Apa yang kulakukan? Aku harus bagaimana? Kalau begini, paman sepeda mungkin akan sulit berkonsetrasi karena air yang disemburkan Kishi pasti mengenai tali yang dipijak paman sepeda itu. Bodohnya aku.

Aku benar-benar bodoh, membiarkan Kishi beratraksi sendiri. Gajah tak bisa berpikir. Mereka hanya menuruti instingnya. Menyemburkan air. Ya, menyemburkan air. Hanya itu yang Kishi tahu. Kishi tak pernah tahu, air seperti apa yang harus ia semburkan. Dan aku memang anak bodoh. Air apa yang baru saja Kishi minum? Ya tuhan, kumohon, Kishi, Berhenti! Tapi kata-kata itu tidak keluar dari mulutku. Aku hanya berdiri, terpaku. Mataku berkilat seirama dengan api yang disemburkan Giri. Seketika….

“KISHIII…!!!!” / “AYAAAAAAAAAHHHH!!!”

DEG

Pemandangan di depanku mendadak kabur. Aku gemetar. Kepalaku serasa berputar. Teriakan tadi rasanya bergema di kepalaku. Ayah? Seharusnya aku memanggil Kishi. Tapi kenapa? Ayah? Kenapa?
Aku menekan kepalaku dengan kedua tangan. Kujambak rambut cepakku, menahan depresi. Apa yang terjadi? Apa yang kulakukan?

“AYAH…!”

Seorang anak laki-laki histeris di sudut kiri panggung. Siapa anak laki-laki itu? Kenapa mirip sekali denganku? Apa yang terjadi? Itu aku?

“AYAH…!”

Anak laki-laki itu berontak, menarik diri dari dekapan ibunya. Air matanya beruraian. Tangisnya sesegukkan. Ibunya pasrah, hanya bisa menahannya dari api yang berkobar di tengah panggung. Debu-debu berterbangan. Entah itu debu apa. Mungkin lantai dan latar panggung sudah terbakar. Aku tertegun.

“Lil…” suara itu lemah dan parau, keluar dari kobaran api, disambung dengan teriakan mengerikan. Dia kesakitan. Mungkin terbakar. Ya tuhan, mengerikan sekali. Aku menutup mataku. Tanpa sadar aku ikut menangis. Aku takut. Kemudian tanganku beranjak menutup telingaku. Aku tak mau mendengar kericuhkan panggung yang terbakar. Aku tak mau melihat siapa yang ada di sana.

“LIL…!” entah apa yang membuatku menoleh. Tapi itu suara komandan sirkus. Dia memanggilku? Dan ‘Lil?’ Siapa Lil? Bukankah dia menyebutku Beri?

Orang tua itu menghampiriku, memelukku. Kemudian membantuku berdiri. Dia melindungiku. Kenapa? Kenapa ini terasa seperti de javu?

“Lil, kau tak apa?” tanya komandan sirkus. Kata-katanya hanya masuk ke telingaku. Tanpa diproses, aku tak berniat menjawab.

“Lil, jawab aku,” katanya lagi, membuatku yakin, dia sedang bicara padaku. Ini bukan fatamorgana. Bukan juga de javu. Aku tidak sedang melompati waktu. Tapi kenapa? Kishi? Ayah? Bukan. Kishi bukanlah ayahku.

“Paman?” suaraku bergetar dan parau. Aku masih setengah sadar mengatakannya. “Kau pamanku, kan?” tanyaku.

“Lil…,” dia hanya menyebut namaku, lalu memelukku.

Aku ingat. Kejadian yang sama terjadi 2 tahun yang lalu. Ayahku korbannya. Setelah itu, aku dirawat pamanku. Ibuku mengalami gangguan kejiwaan dan dirawat di rumah sakit. Aku pun begitu. Aku mengalami lompatan ingatan yang terlalu tajam, dan menghapus hampir seluruh ingatanku. Aku pulang dari rehabilitas seminggu yang lalu. Dan paman membawaku kemari.

Namaku Beri. Beri La Prosta. Tapi orang-orang memanggilku Lil, karena aku kecil dan lemah. Hidupku ditentukan waktu. Aku ingat, hari itu, ketika parade konyol ini akan dimulai, ayahku menghampiriku.

“Waktu tak menunggu siapapun, Lil. Cepatlah tumbuh dewasa dan bahagiakan ibumu,” katanya. Dan kubiarkan dia pergi meramaikan parade.

Aku bodoh dengan membiarkannya pergi. Dan aku menjadi lebih bodoh dengan membiarkan ingatanku pergi. Atau aku akan menjadi lebih bodoh lagi dengan membiarkan waktu pergi sebelum aku melakukan sesuatu.

Spontan, seperti sesuatu mendadak mengalir dalam tubuhku. Seperti aliran darah yang tadinya berhenti, kembali beroperasi. Aku berdiri tanpa gemetar. Aku berbalik kembali ke panggung. Paman memanggilku, tapi kuhiraukan. Akan kuselamatkan Kishi dan yang lainnya. Karena waktu tak akan menungguku, aku harus melakukan sesuatu.

The end.

#pernah diterbitkan di majalah Kampus Universitas Lampung, UKPM Teknokra edisi Khusu Mahasiswa Baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar