Rabu, 02 Mei 2012

The Last Mejiku



 
“Argh…!” teriakku sambil mengacak-acak rambut sebahuku. Aku sedang galau. Air mataku mulai turun membasahi pipiku. Hangat airmataku tidak mampu menghangatkan suasana hatiku. Aku sudah terlanjur sakit hati. Aku tidak suka pada mereka yang selalu menganggapku anak kecil. Memangnya kenapa kalau aku 16 tahun? Salahkah aku kalau aku sudah menjadi mahasiswa di usia 16 tahun? Sebenarnya tidak ada yang salah. Hanya saja aku yang merasa bersalah. Atau memang aku yang selalu disalahkan? Argh… semua orang menilaiku anak kecil. Aku bosan dengan semua itu.

Tangisku semakin menjadi di pinggir jendela kamarku. Hujan di luar kamarku mengetuk-ngetuk kulit lengan tangan kananku, sedikit membasahi pakaianku, tapi aku tak bergeming. Kubiarkan alam menangis bersamaku. Aku terlalu kesepian untuk menangis seorang diri. Aku tak mampu menceritakan semuanya pada seseorang pun. Aku hanya bisa berbagi cerita dengan hujan sore ini. Tapi aku patut bersyukur, tuhan mengirim hujan untuk menemaniku menangis. Aku jadi tidak terlalu kesepian. Ada sesuatu yang indah di balik hujan ini. Tapi juga banyak kenangan pahit di balik hujan.
***

“Kamu anak kecil tau apa?” kata cowok tinggi berbadan kerempeng yang tidak tahu malu. Mendengar kata-kata itu sebenarnya aku ingin sesegukan menyesali bahwa aku masih kecil. Tapi itu hanya akan membuatnya tertawa semakin keras.

“Aku kan Cuma-“
“Apa?” potongnya membuatku kaget. “Cuma apa? Menasehatiku?” tatapannya menantangku. Aku sungguh tak berani menatap bola aneh di matanya, tapi kupaksakan karena aku tidak mau kalah dengannya. “Jangan sok menasehatiku, kamu itu anak kecil” cacinya padaku yang masih dalam keadaan diam. Wajahnya dengan sangat jelas menyiratkan bahwa ia meremehkanku. Padahal tadi aku bukan menasehatinya, hanya member sedikit masukkan untuk tugas kami.

“Aku bukan anak kecil!” teriakku di depannya. Telingaku tak tahan juga berlama-lama dicaci. “Kamu pikir, kamu juga siapa? seenaknya menjudge orang! Otak kamu dimana? Katanya ngaku dewasa!” balasku yang mencoba menegakkan suaraku yang mulai gemetaran. Aku tidak biasa membentak orang karena aku tahu dibentak rasanya tidak enak.

“Loh?” katanya merentangkan kedua tangannya, menunjukkan tulang belulangnya yang terbungkus kemeja garis-garis vertikal berwarna abu-abu. “Memang begitu kenyataannya. Kamu lebih kecil dariku. Jadi, anak kecil…” aku menangkis tangannya yang hampir menyentuh kepalaku, dengan sangat kasar.

“Kamu perlu tahu, ini cuma outfitnya aja. Kamu nggak pernah tahu apa itu kedewasaan yang sebenarnya. Jadi jangan sembarangan menjudgeku  anak kecil!” teriakku dengan nada yang lebih keras untuk kalimat yang terakhir. Dasar hatiku rasanya sudah terbakar. Panas di mana-mana. Dia benar-benar orang yang menjengkelkan. Tak tahu malu.

“Ah… susah memang ngomong ama anak kecil,” wajahnya kembali meremehkanku. Aku tidak ingin berdebat lagi karena aku tahu mataku tak kuat menahan airmataku yang sudah berdemo untuk keluar. Aku memang gadis yang cengeng, baru pertengkaran begitu saja sudah ingin menangis. Aku berlari hendak pulang karena kesal setelah membalas ucapan revi barusan.

Hari ini masih terlalu pagi untuk berdebat dengan orang yang tak penting. Aku sangat menyadari itu semua. Ini masih pukul 11.00 WIB. Sebentar lagi ada kuliah kalkulus, tapi masa bodo ada kuliah atau tidak, aku sudah tidak mood kuliah. Aku sangat berterima kasih pada revi, cowok kerempeng tak tahu malu itu, karena telah membakar habis semangat belajarku.

“Dia pikir dia siapa? Merasa dewasa…” gerutuku di sepanjang jalan pulang. Aku memandangi langit sambil menahan airmataku jatuh. Sangat disayangkan aku menjatuhkan airmata hanya untuk menangisi cowok tak tahu diri seperti revi. “Harusnya dia yang mikir, sudah seberapa dewasa dia? Hah… ngakunya dewasa, cuma dengerin orang ngomong aja nggak bisa…! Dasar nggak malu!” gerutuku lagi. Aku tak memperdulikan orang-orang di sekitarku yang memandangku aneh. Bahkan wajah mereka saat menatapku tak kalah anehnya dengan wajahku yang kusam dan penuh rasa jengkel ini.
***
Sesampainya di kosan, aku langsung melemparkan tubuh miniku ke kasur. Ah… rasanya ada sedikit perasaan nyaman saat menatap langit-langit kamarku. Aku ingin meninggalkan sejenak kejadian tadi. Kejadian yang sungguh menyesakkan hati.

Setelah mencuci kaki, aku kembali berbaring di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarku. Sekarang sudah jam setengah satu, waktu yang pas untuk tidur siang. Yah… setidaknya aku ingin merefresh otakku. Hari ini sudah terlalu rumit untuk kuingat-ingat. Langit-langit di atasku semakin lama semakin tak jelas kelihatannya.
***
Hujan yang terus mengetuk jendela kamarku telah membangunkanku dari ketidaknyenyakan tidur siangku. Aku malah jadi teringat hari-hari sebelum ini. Yah… sama saja, hanya ucapan-ucapan yang menghakimi ketidakdewasaanku saja.

“Seharusnya kalau mereka mengaku dewasa, mereka bisa menuntunku untuk jadi dewasa juga. Bukan begini, yang seenaknya menjudgeku begini.” Airmataku kembali meleleh menuruni pipiku. Ah… aku ini terlalu melankolis, menangisi semua hal yang memang membuat menangis. Kapan aku bisa jadi dewasa? Kapan aku bisa membiarkan mataku bengkak karena menahan airmata? Selama ini aku hanya bisa membiarkan airmataku mengalir dengan seenaknya menuruni pipiku. Membiarkan semua orang menilaiku sebagai anak kecil. Aku sadar, harusnya aku berbesar hati untuk tidak menangis. Aku juga harusnya sadar kalau aku tidak punya pelangi yang bisa membuatku indah setelah menangis. Aku menatap pelangi yang muncul di langit luar. Hujan telah reda.

***
Drrrt… drrttt…

“Sabar ya, dek, kamu pasti bisa. jangan nangis lagi, ini pelangi terakhir untuk tangismu. Jangan pernah nangis lagi. Tunjukkan kalau kamu bisa jadi pelangi bukan sekedar butuh pelangi.”

Aku sedikit bertanya-tanya membacanya. Cika memang sahabat yang baik, ternyata sejak tadi dia sudah di kamarnya dan melihatku menangis di pinggir jendela kamarku. Aku mengusap sisa airmataku dan menatap langit yang sudah cerah. Memandangi pelangi yang sudah mengindahkan langit sore ini. Dan melupakan tragedi 4 jam yang lalu. Go fight deka! ^o^/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar