Tangisku semakin
menjadi di pinggir jendela kamarku. Hujan di luar kamarku mengetuk-ngetuk kulit
lengan tangan kananku, sedikit membasahi pakaianku, tapi aku tak bergeming.
Kubiarkan alam menangis bersamaku. Aku terlalu kesepian untuk menangis seorang
diri. Aku tak mampu menceritakan semuanya pada seseorang pun. Aku hanya bisa
berbagi cerita dengan hujan sore ini. Tapi aku patut bersyukur, tuhan mengirim
hujan untuk menemaniku menangis. Aku jadi tidak terlalu kesepian. Ada sesuatu
yang indah di balik hujan ini. Tapi juga banyak kenangan pahit di balik hujan.
***
“Kamu anak kecil tau
apa?” kata cowok tinggi berbadan kerempeng yang tidak tahu malu. Mendengar
kata-kata itu sebenarnya aku ingin sesegukan menyesali bahwa aku masih kecil.
Tapi itu hanya akan membuatnya tertawa semakin keras.
“Aku kan Cuma-“
“Apa?” potongnya
membuatku kaget. “Cuma apa? Menasehatiku?” tatapannya menantangku. Aku sungguh
tak berani menatap bola aneh di matanya, tapi kupaksakan karena aku tidak mau
kalah dengannya. “Jangan sok menasehatiku, kamu itu anak kecil” cacinya padaku
yang masih dalam keadaan diam. Wajahnya dengan sangat jelas menyiratkan bahwa ia
meremehkanku. Padahal tadi aku bukan menasehatinya, hanya member sedikit
masukkan untuk tugas kami.
“Aku bukan anak
kecil!” teriakku di depannya. Telingaku tak tahan juga berlama-lama dicaci. “Kamu
pikir, kamu juga siapa? seenaknya menjudge
orang! Otak kamu dimana? Katanya ngaku dewasa!” balasku yang mencoba menegakkan
suaraku yang mulai gemetaran. Aku tidak biasa membentak orang karena aku tahu dibentak
rasanya tidak enak.
“Loh?” katanya
merentangkan kedua tangannya, menunjukkan tulang belulangnya yang terbungkus
kemeja garis-garis vertikal berwarna abu-abu. “Memang begitu kenyataannya. Kamu
lebih kecil dariku. Jadi, anak kecil…” aku menangkis tangannya yang hampir
menyentuh kepalaku, dengan sangat kasar.
“Kamu perlu tahu, ini cuma
outfitnya aja. Kamu nggak pernah tahu
apa itu kedewasaan yang sebenarnya. Jadi jangan sembarangan menjudgeku anak kecil!” teriakku dengan nada yang lebih
keras untuk kalimat yang terakhir. Dasar hatiku rasanya sudah terbakar. Panas
di mana-mana. Dia benar-benar orang yang menjengkelkan. Tak tahu malu.
“Ah… susah memang
ngomong ama anak kecil,” wajahnya kembali meremehkanku. Aku tidak ingin
berdebat lagi karena aku tahu mataku tak kuat menahan airmataku yang sudah
berdemo untuk keluar. Aku memang gadis yang cengeng, baru pertengkaran begitu
saja sudah ingin menangis. Aku berlari hendak pulang karena kesal setelah
membalas ucapan revi barusan.
Hari ini masih terlalu
pagi untuk berdebat dengan orang yang tak penting. Aku sangat menyadari itu
semua. Ini masih pukul 11.00 WIB. Sebentar lagi ada kuliah kalkulus, tapi masa
bodo ada kuliah atau tidak, aku sudah tidak mood
kuliah. Aku sangat berterima kasih pada revi, cowok kerempeng tak tahu malu
itu, karena telah membakar habis semangat belajarku.
“Dia pikir dia siapa?
Merasa dewasa…” gerutuku di sepanjang jalan pulang. Aku memandangi langit
sambil menahan airmataku jatuh. Sangat disayangkan aku menjatuhkan airmata
hanya untuk menangisi cowok tak tahu diri seperti revi. “Harusnya dia yang
mikir, sudah seberapa dewasa dia? Hah… ngakunya dewasa, cuma dengerin orang
ngomong aja nggak bisa…! Dasar nggak malu!” gerutuku lagi. Aku tak
memperdulikan orang-orang di sekitarku yang memandangku aneh. Bahkan wajah
mereka saat menatapku tak kalah anehnya dengan wajahku yang kusam dan penuh
rasa jengkel ini.
***
Sesampainya di kosan,
aku langsung melemparkan tubuh miniku ke kasur. Ah… rasanya ada sedikit
perasaan nyaman saat menatap langit-langit kamarku. Aku ingin meninggalkan
sejenak kejadian tadi. Kejadian yang sungguh menyesakkan hati.
Setelah mencuci kaki, aku
kembali berbaring di atas tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarku. Sekarang
sudah jam setengah satu, waktu yang pas untuk tidur siang. Yah… setidaknya aku
ingin merefresh otakku. Hari ini
sudah terlalu rumit untuk kuingat-ingat. Langit-langit di atasku semakin lama
semakin tak jelas kelihatannya.
***
Hujan yang terus
mengetuk jendela kamarku telah membangunkanku dari ketidaknyenyakan tidur
siangku. Aku malah jadi teringat hari-hari sebelum ini. Yah… sama saja, hanya
ucapan-ucapan yang menghakimi ketidakdewasaanku saja.
“Seharusnya kalau
mereka mengaku dewasa, mereka bisa menuntunku untuk jadi dewasa juga. Bukan
begini, yang seenaknya menjudgeku
begini.” Airmataku kembali meleleh menuruni pipiku. Ah… aku ini terlalu
melankolis, menangisi semua hal yang memang membuat menangis. Kapan aku bisa
jadi dewasa? Kapan aku bisa membiarkan mataku bengkak karena menahan airmata?
Selama ini aku hanya bisa membiarkan airmataku mengalir dengan seenaknya
menuruni pipiku. Membiarkan semua orang menilaiku sebagai anak kecil. Aku
sadar, harusnya aku berbesar hati untuk tidak menangis. Aku juga harusnya sadar
kalau aku tidak punya pelangi yang bisa membuatku indah setelah menangis. Aku
menatap pelangi yang muncul di langit luar. Hujan telah reda.
***
Drrrt… drrttt…
“Sabar ya, dek, kamu
pasti bisa. jangan nangis lagi, ini pelangi terakhir untuk tangismu. Jangan
pernah nangis lagi. Tunjukkan kalau kamu bisa jadi pelangi bukan sekedar butuh
pelangi.”
Aku sedikit
bertanya-tanya membacanya. Cika memang sahabat yang baik, ternyata sejak tadi
dia sudah di kamarnya dan melihatku menangis di pinggir jendela kamarku. Aku
mengusap sisa airmataku dan menatap langit yang sudah cerah. Memandangi pelangi
yang sudah mengindahkan langit sore ini. Dan melupakan tragedi 4 jam yang lalu.
Go fight deka! ^o^/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar